Cuplikan dari lirik lagu “Tak Gendong” di atas pasti sudah kita kenal sekali belakangan ini. Tiap malam, di banyak siaran televisi kita mendengar iklan RBT lagu yang dinyanyikan oleh Mbah Surip tersebut. Entah kenapa, liriknya langsung melekat di benak. Mungkin karena frekuensinya yang sangat sering, atau juga karena lagu itu luar biasa aneh (juga lucu).
Kalimat itu saya gunakan untuk mengisahkan pengalaman saya minggu ini. Sudah empat hari (dari Senin, Minggu tak dihitung) saya tidak menulis notes di FB. Entah kenapa saya merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Apa sesuatu yang hilang itu karena terintimidasi janji diri saya sendiri untuk mem-post sekali sehari, atau saya benar-benar membutuhkan aktivitas menulis? Entahlah, yang jelas, tiga hari ini saya gundah luar biasa karena tidak menulis tentang apa pun di notes FB ataupun di blog saya. Saya harap alasannya adalah yang kedua, karena saya sudah membutuhkan menulis sebagai aktivitas yang tidak dapat ditinggal.
Sebenarnya, saya sudah mempersiapkan dua tulisan tentang musik populer, satu resensi buku, dan satu resensi album yang merupakan pesanan dari sebuah zine kota Yogya. Sebentar lagi deh, semuanya akan saya post, demi kredo yang telah saya buat sendiri. Juga demi menghilanglan rasa “kosong” karena tidak menulis itu. Minimal saya berjanji untuk diri saya sendiri.
Saya akan berkisah tentang dua aktivitas penting empat hari belakangan ini sekaligus ingin menunjukkan betapa cuplikan lirik “tak gendong kemana-mana” itu menginspirasi saya. Pertama, “tak gendong kemana-mana” itu kamsudnya adalah kita selalu “menggendong” identitas kita sendiri kemana pun.
Bukan identitas seperti yang kita kenal dalam bahasa umum di mana identitas disamakan dengan “jati diri”. Identitas adalah sesuatu yang luwes, cair, dan “kemana-mana”, yang meliputi diri, interaksi dengan pihak lain, dan konsepsi kita atas interaksi yang ideal.
Diri tidaklah ada yang sejati. Diri mewujud dalam identitas yang bisa dikemas, disamarkan, diperluas, dan diperpanjang. Pendefinisian identitas ini saya gunakan untuk memaknai kunjungan para akademisi dari Malaysia ke kampus saya. Kami, dari dua kampus, berdiskusi dengan tema “melestarikan komunikasi antar bangsa serumpun”.
Identitas kita, Indonesia dan Malaysia, yang serumpun itu menunjukkan betapa sumirnya pengertian konsep itu. Kata serumpun muncul sebenarnya karena dikaitkan dengan etnis Melayu. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Bangsa Malaysia, walau didominasi oleh etnis atau ras Melayu, bukan hanya orang Melayu. Pun bangsa Indonesia, etnis Melayu bukanlah etnis dominan, masih banyak etnis lain yang mendiami wilayah Indonesia.
Masing-masing pihak menyajikan delapan kertas kerja. Saya sendiri mempresentasikan makalah dengan topik komunikasi interpersonal dan komunikasi antar budaya antara warga Indonesia dan Malaysia di media Indonesia. Di dalam tulisan yang masih berupa analisis, bukan riset, ini saya ingin menunjukkan bagaimana relasi antara warga Indonesia dan Malaysia terepresentasi dalam dua karakter.
Karakter pertama adalah jenis hubungan yang negatif. Biasanya karakter jenis ini muncul di dalam berita di mana identitas meluas dalam konsep yang lebih luas, semisal negara dan bangsa. Relasi seperti ini muncul dalam pesan media faktual atau pemberitaan, terutama kasus-kasus kekerasan terhadap TKI, misalnya saja kasus Siti Hajar, dan perbatasan kedua negara, misalnya saja kasus Ambalat. Interaksi seperti ini adalah interaksi yang abstrak dan makro.
Sementara itu, ada juga jenis kedua interaksi, yaitu interaksi yang berkarakter relatif positif. Interaksi kedua warga digambarkan harmonis dan personal mewakili identitas individual masing-masing. Biasanya relasi jenis ini muncul dari pesan media fiksional atau yang bersifat non-berita atawa hiburan. Misalnya saja pada tahun 1980-an kita mengenal program musik bersama, Indonesia dan Malaysia, yang bernama Titian Muhibah (pernah diplesetkan menjadi Titian Musibah ketika Connie Constantia menyanyi di panggung tanpa bra, yang kontan membuat gusar Malaysia dan malu Indonesia…hehe...).
Atau juga melalui musik populer, di mana lagu-lagu Malaysia seperti Isabella dan Gerimis Mengundang pernah populer di Indonesia. Begitu pula sebaliknya lewat lagu-lagu Indonesia yang populer di Malaysia, yang tak terhitung jumlahnya, semisal Letto dan Radja. Terutama lagu dan film Isabella yang menunjukkan relasi yang harmonis antar dua warga.
Saran saya, coba Indonesia dan Malaysia bekerja sama secara kultural memproduksi pesan media bersama. Kemungkinan besar hal itu dapat sedikit menjadikan hubungan kedua bangsa mengarah pada hubungan yang lebih cair dan humanis.
Aktivitas kedua yang saya jalani selama hampir seminggu ini adalah bersimposium. Dua hari kemarin saya menjadi pemakalah dan peserta simposium tentang manajemen media di Universitas Islam Indonesia. Aktivitas kedua ini mendiskusikan manajemen media, sebuah kajian yang baru saja saya dalami setengah tahun terakhir karena menggantikan teman yang bersekolah di Singapura.
Saya senang sekali karena bisa berdiskusi dengan banyak rekan dari seluruh penjuru negeri. Sesuatu yang agak jarang kami lakukan. Aktivitas ini juga mengingatkan saya pada “tak gendong kemana-mana” dari mbah Surip itu. Penyebabnya adalah keprihatinan saya ketika nama-nama pemikir besar dicuplik tanpa menunjukkan relevansinya pada kajian manajemen media.
Saya pikir untuk apa nama-nama besar seperti Popper, Habermas, Baudrillard, dan Marcuse dikutip? Untuk terlihat keren, atau terlihat pintar? Dengan segala hormat pada teman-teman peserta simposium yang lain. Menurut saya penyebutan nama-nama para “dewa” itu tidak bermakna untuk menjelaskan fenomena manajemen media yang berusaha kita pahami dengan lebih baik. Apalagi ada pengutip nama tersebut yang tidak tepat menerapkannya dalam konteks menelaah kasus.
Untuk merespons hal itu, sebagai kritik, saya kemudian mengutip mbah Surip (sayang waktu itu saya tidak diberi kesempatan bertanya ataupun berkomentar). Cuplikan lirik “tak gendong kemana-mana” itu malah berguna untuk melihat keberagaman perspektif dalam mengkaji manajemen media. Di dalam menganalisis dan mempelajari manajemen media, kita selalu “menggendong” pemahaman makro, meso dan mikro. Kita harus memahami hal yang makro, lingkungan eksternal (negara, masyarakat, pasar, dan media lain atau teknologi), meso = pengetahuan organisasional, dan logika produksi pesan atau mikro dalam manajemen media.
Di luar komentar salah seorang peserta, yang langsung memancing debat “panas”, bahwa analisis wacana bukanlah metode dalam riset, simposium ini benar-benar mencerahkan (terima kasih teman-teman komunikasi UII) dan berguna untuk pengembangan ilmu komunikasi lebih jauh. Sebab, kapan lagi kita berdiskusi dengan begawan ilmu komunikasi; Alwi Dahlan, praktisi sekaligus akademisi berpengalaman; Ishadi SK, dan akademisi, praktisi, sekaligus aktivitis kebebasan bermedia; Amir Effendi Siregar. Juga, tentu saja, berdikusi dengan banyak teman dari berbagai kampus.
Kalau sudah begitu, saya hanya bisa bilang…”uenak tho..uenak tho…” (petunjuk: pahami lirik lanjutan lagu Mbah Surip itu lebih jau…hehe…).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar