Beberapa hari yang lalu, salah seorang kawan akrab saya, yang merupakan penggemar berat Manchester Unined, bertanya, “Wis, mau menonton MU gak?”. Saya hanya tersenyum. Saya pikir teman saya ini bercanda karena saya bukan penggemar MU.
Kemudian dia menambahkan jika dia memiliki empat tiket pertandingan eksebisi MU di Indonesia dengan empat varian harga, mulai dari yang termurah. “Kok kamu bisa sampai punya empat tiket?”.
Dengan santai dia menjawab itu karena dia takut kehabisan. Karena itulah dia memesan dari empat jalur mendapatkan tiket. Ternyata empat jalur yang pesan tersebut ternyata memberikan hasil semua. Dia mendapat empat tiket.
Pertandingan antara MU dan Indonesia All Stars memang baru berlangsung tanggal 20 Juli 2009, tetapi tiketnya sudah habis terjual. Tiket yang tersisa adalah tiket yang dimiliki para produsen/sponsor untuk diundi.
Kembali pada kisah teman saya tadi. Mengapa dia bisa “berkorban” begitu banyak? Uang yang dia keluarkan untuk membeli tiket MU kemungkinan lebih dari satu juta rupiah. Menurut saya awalnya “pengorbanan” tersebut terasa absurd. Mengapa untuk menonton sebuah pertandingan saja diperlukan biaya sebesar itu? Apalagi pertandingan tersebut hanya eksebisi dan pastinya tidak “menggigit” seperti pertandingan sungguhan.
Tetapi tunggu dulu. Bagi penggemar MU, harga tersebut mungkin bukanlah harga yang terlalu mahal. Ada dua hal. Pertama, MU adalah klub besar dan kesempatan untuk datang ke Indonesia adalah kesempatan langka. Setelah bertahun-tahun baru tahun ini MU bisa hadir di Indonesia.
Kedua, melihat langsung para pemain sepakbola pujian bagi penggemar MU adalah sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan menonton melalui layar kaca. Karena itulah, walau hanya bertajuk pertandingan persahabatan atau eksebisi, tiket pertandingan tersebut pasti sangat diburu oleh para fans. Apalagi, penggemar fanatik MU di Indonesia, seperti halnya di belahan benua Asia yang lain, berjumlah sangat besar. Animo tersebut juga tetap tinggi walau Cristiano Ronaldo dan Carlos Tevez tidak lagi membela MU.
Kemudian saya menengok diri saya sendiri. Saya memang penggemar fanatik sepakbola tetapi saya bukan penggemar MU. Mendapatkan tiket untuk menonton “hanya” pertandingan eksebisi MU tidak akan saya lakukan. Tidak untuk klub sepakbola mana pun.
Tetapi tidak demikian bila fenomena tersebut terjadi di wilayah yang menjadi hasrat terbesar saya, musik populer. Saya kemungkinan besar akan mati-matian untuk menyaksikan U2, REM, Sonic Youth atau Manic Street Preachers misalnya, bila mereka pentas di Indonesia. Ada beberapa kejadian yang membuat saya yakin akan hal itu. Saya mengingat bagaimana saya seperti tidak berpikir untuk membeli album-album band favorit saya tadi.
Di dalam hal memburu “kedekatan” dengan suatu hal yang dipuja, penggemar die hard pasti akan berjuang mati-matian. Seringkali kita melihat bagaimana penggemar melakukan hal-hal yang tidak masuk akal berkaitan dengan obyek favoritnya. Ada penggemar sebuah band yang berhari-hari rela menunggu tiket band kesukaannya tampil. Ada penggemar yang rela menempuh perjalanan sangat jauh hanya untuk melihat pemain sepakbola kesayangannya secara langsung. Membeli produk dengan harga mahal malah bukan termasuk tindakan yang di luar nalar tadi.
Hal yang sama berlaku di dalam musik populer. Industri musik populer melihat hal ini sebagai potensi untuk mendapatkan profit lebih. Banyak strategi yang dilakukan oleh produsen musik (band/penyanyi dan label) adalah memberikan “pengalaman” lebih kepada para penggemar utamanya. Strategi tersebut antara lain merilis album spesial ataupun box set. Penggemar fanatik biasanya tidak akan terlalu memusingkan masalah harga untuk mendapatkan produk tersebut walau harganya bisa selangit.
Saya pikir fenomena ini masihlah sehat asalkan tidak “menipu” penggemar. Pihak yang diidolai mendapatkan keuntungan tambahan yang lumayan besar. Sementara pihak yang mengidolai, para penggemar, mendapatkan pengalaman lebih atau bahkan pengalaman luar biasa. Sama-sama diuntungkan.
Hal inilah yang sudah mulai dilihat dalam kajian manajemen media di Indonesia: memberikan pengalaman tak terbatas kepada para konsumen atau audiens. Suatu fenomena yang belum lama muncul di Indonesia. Contoh yang terlihat jelas adalah pada penjualan buku “Laskar Pelangi” dalam berbagai ragam kemasan untuk industri buku. Juga “perluasan” dengan penjualan marchandise yang berkaitan dengan Laskar Pelangi.
Hal yang sama terjadi di industri musik rekaman. Beberapa penyanyi merilis kemasan album khusus untuk para penggemar fanatik, misalnya album terakhir Maliq and the D’Essentials, “Mata, Hati, Telinga”. Walau sedikit mahal, album dengan kemasan eksklusif berisi t-shirt dan booklet ini lumayan laris.
Saya membayangkan sobat saya penggemar fanatik MU tadi pasti akan puas dan mendapatkan pengalaman luar biasa ketika menonton kesebelasan kesukaannya. Selamat menonton sobat…
Eit, tunggu dulu…
Semoga para pemain Indonesia, yang menjadi lawan MU nanti tidak mogok bermain bila ada keputusan wasit yang dianggap merugikan mereka….hehe…seperti kebiasaan mereka bila bermain di liga Indonesia (kasus terakhir: final Piala Indonesia 2009)
Semoga saya ditawari tiket oleh teman saya untuk menonton MU walau hampir tidak mungkin.
Semoga saja saya bisa “menahan diri” untuk tidak menulis kebobrokan sepakbola Indonesia lebih jauh.
Semoga suatu saat ada klub Indonesia yang bisa “mengemas” klubnya seperti MU…(kita bisa melakukannya untuk industri musik populer dan industri buku)
Sekali lagi, Selamat menonton untuk para penggemar MU! (gara-gara bom di Ritz dan Marriot menonton MU tidak menjadi kenyataan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar