(Ini adalah opini yang sudah seminggu lebih saya kirim ke Kedaulatan Rakyat, dan baru dimuat hari ini, Sabtu 14 Maaret 2009. Tulisan ini bertujuan berbagi ide pada teman-teman....kita harus tetap percaya bahwa melalui media massa (juga media sosial dan media baru) kita dapat mencapai kehidupan bersama yang lebih baik...)
Mungkin anak muda jaman sekarang kurang mengenal Gundala. Gundala adalah salah satu superhero Indonesia. Bersama Godam, Maza, Elmaut, dan Aquanus, Gundala mengharu-biru jagat perkomikan Indonesia sekitar dua dekade lalu, ketika komik Indonesia masih berjaya.
Lalu apa hubungannya Gundala dan Ponari? Gundala adalah karakter fiksi, sementara Ponari adalah karakter nyata. Fenomena Ponari, dan juga dua yang lain, tabib Slamet & Dewi Setiowati, dan Siti Nur Rohmah, adalah peristiwa faktual di masyarakat. Sementara sepak-terjang Gundala hanya dalam komik masa lalu.
Kesamaan Gundala dan Ponari adalah pada petir. Gundala adalah sang putra petir, anak sang penguasa petir. Sementara Ponari cs menggunakan batu petir sebagai media pengobatan alternatif yang mereka lakukan di Jombang.
Bila Gundala sungguh ada, tentunya dia akan tahu dari mana batu petir tersebut berasal, apa kelebihan dan kekurangannya, dan bagaimana memproduksi batu petir agar kita semua, warga Indonesia, bisa sehat tanpa perlu berurusan dengan tenaga kesehatan Indonesia yang memang secara umum belum bagus.
Tetapi inilah masalahnya, Gundala tidak nyata, dan masyarakat Indonesia tetap harus berjibaku dengan kenyataan dunia yang seringkali menyakitkan, tanpa superhero, dan tanpa aparat negara yang seharusnya berkewajiban "melayani" masyarakat. Sehebat-hebatnya Gundala, ia tetaplah fiksi. Seburuk-buruknya aparat negara adalah aparat yang tidak memenuhi hak-hak masyarakat.
Kita memang tidak membutuhkan superhero, sekalipun superhero itu berasal dari Indonesia. Hal yang paling penting, yang kita perlukan adalah tetap berpikir rasional di tengah himpitan hidup yang berat. Pihak-pihak berwenang seharusnya membantu kita tetap rasional. Bukannya malah memperkuat irrasionalitas.
Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah daerah di Jombang malah menyarankan pihak Ponari memasang tanki air sehingga batu petir tadi tidak dicelup ke gelas satu per satu. Tujuannya sebenarnya bagus. Dengan menyelupkan batu petir ke tanki air, Ponari dapat bersekolah dan terpenuhi hak-haknya sebagai anak-anak. Pepatahnya begini, sekali menyelupkan batu petir di tanki air, ribuan jiwa terobati. Walau saran tersebut bertujuan baik, dari sisi lain sebenarnya mengingkari rasionalitas. Pihak pemerintah yang seharusnya mendorong pengobatan medis yang rasional justru menyarankan hal sebaliknya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh televisi Indonesia, tidak semua produk pemberitaan memang. Media televisi tidak melakukan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan pesan faktual (baca: berita) yang seharusnya memperkuat rasionalitas. Apa lagi fungsi fakta selain memperkuat rasio? Berita televisi pada hari-hari terakhir ini cenderung sama dengan fiksi dan justru memperkuat irrasionalisme. Bukan berarti fiksi itu irrasional dan tidak baik. Fiksi memiliki wilayahnya sendiri yang berbeda dengan fakta. Informasi faktual diperlukan oleh masyarakat untuk memahami peristiwa dan bertindak dengan benar.
Idealnya, berita televisi haruslah merujuk pada rasio, berpihak kepada publik, dan mengawasi kekuasaan. Berita televisi yang memiliki kekuatan pada gambar jangan sampai memperkuat irrasionalitas dengan menyampaikan segala kehebatan batu petir saja melainkan berusaha terus mendudukkannya pada fakta yang sebenarnya. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, di dalam beberapa berita mengenai Ponari, televisi mengarahkan pada berbagai hal yang lebih absurd semisal dengan mengaitkan Ponari dengan lumpur Lapindo dan pembahasan berlebihan atas keaslian pengobatan batu petir dengan membandingkan Ponari dengan kedua epigonnya.
Berita televisi juga harus selalu mengaitkan dirinya dengan kepentingan publik dan mengawasi kekuasaan. Salah satunya adalah hak masyarakat adalah mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara, bukannya membiarkan masyarakat berjubel dan mengantri beberapa hari untuk mendapatkan air celupan batu petir.
Beberapa pakar, yang menjadi narasumber dalam pemberitaan mengenai Ponari, berpendapat bahwa fenomena tersebut adalah masalah fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan permasalahan kemiskinan. Apakah jurnalis televisi kemudian mewawancarai apakah orang-orang yang berobat pada Ponari mengakses fasilitas kesehatan atau apakah memang mereka orang-orang tak berpunya sehingga meninggalkan pengobatan medis? Televisi tidak melakukan eksplorasi yang memadai berkaitan dengan kedua isu tersebut.
Selanjutnya, berita televisi juga harus menggugat peran pejabat publik. Mereka yang merupakan representasi negara dan bertanggung-jawab memenuhi hak masyarakat harus digugat oleh media bila tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Televisi adalah mata masyarakat untuk mengawasi agar aparat negara menjalankan kekuasaannya dengan baik. Istilah watchdog lahir dari sini.
Kasus Devi adalah contoh bagaimana berita televisi dapat menjadi alat yang baik untuk mengawasi tugas aparat negara dalam melayani masyarakat. Devi adalah seorang tunawisma yang menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan sehingga koma dan tidak sadarkan diri selama enam hari. Karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, Devi kemudian meninggal. Masyarakat sekitar Pamulang Timur, lokasi Devi ditemukan melaporkan tindak kejahatan yang menimpa Devi kepada polisi tetapi tidak mendapatkan respons. Begitu juga ketika Devi dibawa ke puskesmas. Petugas kesehatan di sana tidak mau menerima Devi karena tidak memiliki identitas yang jelas. Akhirnya, wargalah yang merawat Devi di sebuah pos kamling.
Peristiwa tersebut melukai nurani kita. Walau masih memberikan sinetron dan infotainment yang kurang berkualitas, kali ini televisi-lah yang menjadi pahlawannya. Salah satu stasiun televisi melaporkan penderitaan Devi di dalam berita. Setelah pemberitaan tersebut barulah Devi bisa mendapatkan layanan kesehatan yang terlambat. Kini polisi dan tenaga kesehatan yang sempat mengabaikan Devi sedang diperiksa. Sanksinya jelas, bila aparat yang seharusnya melayani hak publik tetapi malah mengabaikannya bahkan sampai warga tersebut kehilangan nyawa, haruslah ditindak. Masalah publik, terutama yang berkaitan dengan hak-haknya, bukanlah masalah yang sepele.
Melalui kasus Devi kita bisa memberikan apresiasi pada televisi tetapi tidak untuk kasus Ponari dan batu petirnya. Televisi memiliki peran yang strategis di tengah masyarakat bahkan mungkin merupakan media terpenting karena karakternya yang audio visual.
Kita tidak memerlukan Gundala untuk meyakinkan banyak orang bahwa televisi itu penting. Hal yang kita perlukan adalah meyakini bahwa televisi bisa memberikan peran yang positif dengan fokus pada rasionalisme, kepentingan publik dan mengawasi penguasa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar