Kamis, 31 Desember 2009

Konvergensi Itu Ada Di Mana-mana

Saya baru saja mendengarkan box set the Beatles terbaru, bertajuk resmi “Digitally Remastered”, yang dirilis pada tanggal 9 September 2009. Box set yang terdiri dari empat belas album yang paling lama dirilis dalam format mono dua puluh dua tahun yang lalu. Tentu saja ini luar biasa, sebagai band yang mungkin merupakan band terbesar di dunia, the Beatles memiliki potensi lebih besar untuk diingat oleh warga dunia generasi muda dan bagi generasi tua, “ingatan” mereka akan the Beatles dapat disegarkan kembali. Peran mereka dalam sejarah permusikan dunia, dan juga peradaban manusia terekam dengan lebih baik.

Teknologi informasi dan komunikasi yang baru telah menjadikan pesan media mudah diproduksi, didistribusi, ditampilkan, dan diakses oleh audiens. Isi media menjadi lebih “demokratis” untuk diproduksi. Orang-orang tidak harus memahami teknologi dengan sangat canggih untuk bisa memproduksi pesan media dan mendistribusikannya. Orang-orang tidak harus "bersekolah" dengan tinggi atau menggunakan teknologi yang sangat mahal. Dari sinilah hadir pembuat film ataupun jurnalis “amatir”, tanpa perlu bersekolah terlalu lama dan tanpa perlu ada dan bekerja di dalam institusi media mainstream. Mereka hadir dengan menggunakan teknologi informasi komunikasi yang sudah lebih murah dan mudah dipelajari.

Audiens juga lebih mudah mencari dan mengkonsumsi isi media. Bila dulu isi media relatif sedikit, dengan kehadiran teknologi baru, isi media sangat banyak, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dengan format file mp3 misalnya, isi pesan musik rekaman jadi lebih mudah didistribusikan dan diakses. Konsekuensinya adalah isi pesan musik rekaman sangat mudah “dibajak” apalagi bila isi pesan itu berada dalam negara tanpa perlindungan hak cipta yang memadai.

Box set the Beatles ini hadir ke tengah kita dalam perkembangan teknologi yang demikian maju tersebut. Di sinilah hebatnya, the Beatles dan tim produksinya, mereka dapat memanfaatkan teknologi baru dengan sangat baik. Tanpa “penggunaan” teknologi baru pun, mereka sudah semakin dikenal oleh generasi muda sewaktu mereka merilis album “number 1” pada tahun 2000 yang memuat lagu-lagu hits nomor satu di tangga lagu.

Konvergensi itu ternyata tidak hanya hadir karena “penyatuan” format isi pesan, tetapi juga ide. Bersamaan dengan dirilisnya box set, juga dirilis “the Beatles: Rock band”. Rock Band adalah sebuah game komputer laris yang menampilkan band-band besar ke dalam game komputer dan konsol. Jelas, bidikannya adalah anak-anak muda, sebab pengemar asli the Beatles kemungkinan besar tidak memainkan game tersebut.

Fenomenalah inilah yang bisa kita sebut sebagai “konvergensi” ide dalam pesan. The Beatles yang memunculkan bersamaan pesan musik rekaman dan game komputer bukanlah yang pertama. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan komunikator pesan lebih memikirkan pesan yang akan diproduksi dan didistribusikannya. Kehebatan “pencipta” pesan tidak lagi hanya berasal dari kualitas pesannya sendiri, walau ini tetap yang utama, tetapi juga “memikirkan” bagaimana ide tadi muncul dalam berbagai pesan media.

Contoh lain adalah berapa banyak novel yang kemudian diproduksi menjadi film dan game komputer, Harry Potter dan tetralogi ‘Twilight” adalah dua contohnya. Juga pesan media game komputer yang kemudian diproduksi menjadi film dan novel, seperti “Warcraft”. Hal yang paling baru adalah bagaimana pesan media musik rekaman menjadi pementasan drama dan kemungkinan juga untuk film, contohnya adalah dua album terakhir “Green Day”, "American Idiot" (2004) dan "21st Century Breakdown" (2009).

Pertanyaannya, bagaimana dengan media di Indonesia dikaitkan dengan kedua “konvergensi” tersebut?

Media di Indonesia sepertinya belum memanfaatkan konvergensi tersebut, baik konvergensi dalam arti format pesan ataupun ide yang “menyebar” di dalam berbagai jenis pesan. Novel “Laskar Pelangi” misalnya, baru muncul ikutan pesannya ke dalam film dan Original Soundtrack (OST)-nya. Belum ada isi pesan media baru, semisal game ataupun website yang khusus berbicara tentang “Laskar Pelangi” dan perkembangan selanjutnya.

Tetapi memang permasalahannya, di negeri kita tercinta ini bukanlah pada teknologi dan kreativitas pelakunya, melainkan pada apresiasi dan penegakan hukum yang tidak memadai. Bila penegakan hukum untuk melindungi karya cipta anak bangsa belum memadai atau belum ditegakkan dengan baik, jangan harap daya kreativitas kolektif kita sebagai bangsa akan muncul. Kita tinggal memilih, kita menggunakan konsekuensi “konvergensi” itu untuk lebih kreatif atau untuk lebih “terkuasai” dan selamanya menjadi pengakses pesan.

Kok saya sendiri malah agak pusing ya….hehe….mungkin karena belum makan siang ….Mendingan kembali mendengarkan lagu-lagu (lama) the Beatles dalam kualitas lebih bagus ini aja deh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...