Kamis, 31 Desember 2009

Mimpi Belum Tereksplorasi Sempurna

Di dalam sebuah wawancara, salah satu pemikir favorit saya, Michel Foucault, pernah berpendapat begini: “banyak cara untuk diam, sebagaimana banyak cara untuk berbicara”. Begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Komentar itu bisa diperluas lagi, tidak hanya diam dan berbicara, juga bermimpi, berbicara, dan menulis pun adalah beragam. Semua aktivitas manusia adalah tindakan, sekali pun itu dilakukan dengan diam dan hanya bermimpi.

Pemikiran Foucault inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pemikirannya yang lain. Secara teknis dalam melihat fenomena, pemikirannya termaktub dalam istilah geneologi, arkeologi dan wacana. “Tindakan” yang melahirkan kekuasaan tidak hanya muncul dari aktivitas fisik, melainkan juga kata-kata (dan juga dalam diam). Dari sinilah muncul istilah efek diskursif dari kekuasaan dan tindakan.

Mendengarkan album ini saya jadi tertarik untuk menafsir-nafsir istilah mimpi dan aktivitasnya, bermimpi. Bermimpi bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, mimpi yang sedikit berkonotasi dengan hal positif. Mimpi dalam sisi ini ditafsirkan sebagai harapan walau kemungkinan kondisi riil atau kenyataan kurang atau belum mendukung pencapaian harapan tersebut. Bermimpi di sini juga diartikan sebagai aktivitas penuh kesadaran.

Pada sisi lainnya, mimpi memiliki konotasi yang agak negatif. Mimpi di sini diartikan sebagai lamunan dan khayalan yang tak mungkin terwujud. Pada titik ini bermimpi dianggap sebagai aktivitas tanpa kesadaran. Mimpi kala tidur ataupun melamun adalah mimpi pada varian ini.
Tetapi tunggu dulu, sebaiknya kita jangan memandang remeh mimpi terlebih dulu. Bermimpi bisa jadi menunjukkan kenyataan atau kebenaran seseorang yang sesungguhnya. Bila kita memandang mimpi, bermimpi, dan pemimpi, sebagai hal yang “serius”, kita pasti tidak bisa melupakan Sigmund Freud dan Jacques Lacan.

Freud sang perintis psikoanalisis, adalah orang yang pertama-kali melihat mimpi sebagai elemen yang penting bagi kondisi psikis seseorang. Hal-hal yang tidak disadari semisal mimpi, igauan, trauma, bahkan selip lidah, justru dapat menunjukkan kenyataan akan kondisi mental seseorang. Ia melihat bahwa apa pun yang tidak disadari, termasuk mimpi, ternyata justru dapat menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya dari seseorang.

Lacan kemudian memperluas konsepsi yang dirintis oleh Freud. Sebagai salah satu murid Freud, ia tetap bepijak pada psikoanalisis dan mengembangkannya lebih jauh sampai melampaui kajian psikologi. Pengaruh Lacan yang sangat kuat sampai pada bidang studi tanda dan linguistik. Lacan menunjukkan bahwa bahasa mampu mengungkapkan sesuatu yang lain dari yang terdengar, terlihat, dan tertulis. Aktivitas kebahasaan di sini juga merujuk pada aktivitas bermimpi.

Kalimat terkenal yang diucapkannya pada dekade 1950-an adalah: bahasa berbicara melalui manusia sama seperti manusia mengucapkannya. Dengan demikian, mimpi seharusnya dipisahkan dari sang pemimpi. Mimpi adalah perwujudan hasrat sehingga identitas subyek tidaklah diakui. Mimpi justru digunakan secara terus menerus untuk mempertanyakan subyek.

Begitulah, menurut saya, album ini tidak mengeksplorasi mimpi dengan mendalam. Mimpi masih ditafsirkan sebagai aktivitas yang baik-baik saja, bukan aktivitas yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi hal-hal lain. Bukan aktivitas yang potensial “subversif”. Bila dibandingkan dengan prekuel “Sang Pemimpi”, yaitu “Laskar Pelangi”, terlihat bahwa album ini kalah kaya dalam hal tafsir bila dibandingkan dengan pendahulunya itu. Terasa betul bagaimana “Laskar Pelangi” optimal dalam menafsirkan multikulturalime dan optimisme akan kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan.

Atau kemungkinan saya juga kurang fair dalam menakarnya? Sewaktu menakar OST “Laskar Pelangi”, saya mendapatkan efek “kombo” dari seluruh format pesannya; novel, film, dan OST-nya sendiri. Sewaktu menakar OST “Sang Pemimpi” ini saya belum menyelesaikan novelnya, apalagi filmnya pun belum bisa diiakses. Filmnya baru diputar pertengahan Desember ini. Walau demikian, “Laskar Pelangi” sebagai satuan pesan pun memang sudah bagus; novel bagus, film bagus, dan OST bagus, sehingga ketika dikombinasikan menjadi bagus bagus bagus….hehe…

Bukan hanya masalah tafsir yang tercermin dalam lirik lagu, pada keberagaman musik pun, album ini tidak sekaya album sebelumnya. Pada “Laskar Pelangi” kita mendapatkan beragam aliran musik dan nuansa, pada “Sang Pemimpi” keberagaman itu berkurang sedikit. Pada album sebelumnya, hampir semua lagu memiliki kualitas bagus untuk menjadi hit, terutama pada lagu “Laskar Pelangi” dari Nidji, yang termasuk 150 lagu terbaik Indonesia versi Rolling Stone Indonesia. Sementara di album “Sang Pemimpi”, lagu yang paling kuat adalah lagunya Gigi yang berjudul “Sang Pemimpi” walau keindahannya tidak langsung terasa saat pertama-kali mendengarkannnya.

Selain tidak bisa mengelak dari perbandingan dengan OST “Laskar Pelangi”, album ini juga bisa dibandingkan dengan OST “New Moon” yang sekarang ini sedang filmnya sedang merajai pemutaran di bioskop seluruh dunia. Dua OST dari film “Twilight” dan “New Moon” dinilai banyak pengamat memiliki kualitas yang setara. Bila “Twilight” berbicara tentang musik mainstream yang oke, “New Moon” berniat melambungkan kualitas musik indie yang keren. Kecuali lagu Muse yang menjadi keharusan di dalam semua OST serial karya Stephanie Meyer itu, semua lagu dalam kedua OST tersebut terlihat dirancang dengan baik dan dikaitkan dengan misi tertentu.

Sebenarnya, bila OST “Sang Pemimpi” berniat menyampaikan “sesuatu” dalam hal musik, sebenarnya ada kesempatan besar di sini. Katakanlah, OST ini berniat menampilkan band-band baru dengan visi musik yang bagus. Visi ini bisa dikaitkan dengan para tokoh filmnya yang memang ada dalam kehidupan remaja.
Mendengarkan album ini juga saya merasakan benar atmosfer musik Indonesia yang semakin dinamis. Di akhir tahun ini banyak album bagus bermunculan. Hal ini mirip dengan musik manca negara yang produknya bertambah banyak dari sisi kuantitas, juga kualitas, pada akhir tahun. Pada akhir tahun seperti ini biasanya banyak album “best of” dan album baru yang dirilis.

Kedinamisan itu juga bisa kita rasakan dari perancangan rilis yang terencana baik dalam konstelasi pesan media; novel, OST, film, juga dengan memperhatikan rilisan album musik dan film lain. Walau tidak sebagus OST prekuelnya, album ini tetap layak dinikmati. Akan lebih nikmat bila kita membaca novelnya lebih mendalam dan mencoba tafsir lain. Bukankah keberagaman tafsir akan membuat pencerahan lebih mungkin hadir?

OST - Laskar Pelangi (2009)
Daftar lagu:
1. Gigi – Sang Pemimpi
2. Ipang – Apatis
3. Ungu – Cinta Gila
4. Claudia Sinaga – Ini Mimpiku
5. Jay Wijayanto – Rentak 106 (Pak Ketipung)
6. Ipang – Teruslah Bermimpi
7. Rendy “Arai” Ahmad – Zakiah Nurmala
8. Silentium – Para Pemimpi
9. Bonita – Komidi Putar
10. Rendy “Arai” Ahmad – Fatwa Pujangga
11. Maudy, Rendy, Claudia – Mengejar Mimpi
12. NineBall – Tetaplah Berdiri
13. Ungu – Cinta Gila (Bonus Version)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...