Kamis, 31 Desember 2009

Seperti Berkenalan dengan Pemikiran Foucault

Rasanya memang ada yang kosong dan "mengganggu" ketika saya tidak menulis di notes FB atawa di blog beberapa hari ini. Bukan apa-apa, mungkin menulis sudah menjadi suatu kebutuhan yang harus dituntaskan. Saya jadi teringat dengan asmaraman Kho Ping Ho yang akan "sakit" bila tidak menulis barang sehari saja. Semoga saya nantinya saya seperti penulis kondang itu karena salah satu tugas kami, yang katanya akademisi, adalah menulis, menulis, dan menulis...hehe...

Bukannya saya tidak mau menulis. Saya tetap menulis tetapi untuk keperluan materi pembelajaran. Dan selama belum menjadi buku atau ada kemungkinan diterbitkan, rasanya saya belum berani menguploadnya. Mengingat iklim menghargai pemikiran orang lain belum bagus di sini. Selain itu, secara teknis mengatur waktu sehari-hari antara mengajar, mempersiapkan kuliah, atau menulis untuk keperluan diunggah, ternyata cukup sulit juga. Tidak banyak tulisan yang tidak tuntas. Cukup banyak tulisan yang hanya berhenti sebagai tulisan hanya berkerangka, bukan tulisan yang "dibaluti daging" yang cukup enak dibaca. Seperti kita ketahui bersama, tulisan yang tidak selesai tetaplah tidak selesai sekalipun, katakanlah, sudah selesai 90%.

Hal yang paling saya rasakan sekarang ini adalah sulitnya mengatur aktivitas membaca dan menulis yang tidak atau berkaitan sedikit saja dengan perkuliahan. Saya mengajar dengan frekuensi yang tinggi per minggunya. Sampai-sampai hadir julukan "bapak/ibu ilmu pengetahuan" kepada kami yang mengajar banyak kelas. Tidak hanya banyak dalam arti kuantitas, tetapi juga kelas dengan beragam topik dan level pembelajar. Fenomena ini hadir karena salah satunya karena permasalahan sumber daya manusia. SDM prodi saya sedang ditinggalkan tiga staf yang sedang mengambil gelar doktor. Juga karena perubahan kurikulum yang baru saja diberlakukan.

Walau mengajar cukup banyak kelas, saya tetap bahagia. Artinya, secara fisik dan psikis saya berbahagia dan mencoba selalu antusias. Awalnya sih memang sulit, tetapi akhirnya terbiasa juga. Selain itu, apa lagi yang membuat saya bahagia selain masuk ke kelas dan belajar bersama dengan mahasiswa? ini adalah "nyala api" saya yang lain, selain mendengar dan membicarakan musik populer.

Justru dengan banyaknya kelas itu, saya jadi semakin menyadari betapa pentingnya kelas dalam proses pembelajaran. Kelas adalah "medan pertempuran" sebenarnya bagi kami, para pendidik, selain publikasi dan berkontribusi sosial. Publikasi adalah kinerja akademisi yang paling mudah “diukur”, tinggal dilihat publikasi akademisi yang bersangkutan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Sementara, kontribusi sosial adalah area yang lebih sulit diukur, dan ini akan kita bicarakan pada bagian yang lain.

Kinerja di kelas bagi seorang pendidik, juga relatif mudah diukur sebenarnya, paling tidak secara kuantitatif. Biasanya, untuk kasus tempat kerja saya, ada kuesioner yang dibagikan pada masa akhir perkuliahan. Hal yang sulit adalah “mengukur” kinerja pendidik di kelas secara kualitatif, misalnya apakah kelas tersebut memberikan inpirasi atau tidak? Apakah kelas tersebut berhasil membawa pembelajar pada kondisi tercerahkan?

Di dalam tulisan ini saya ingin membicarakan tentang kelas. Bukan kelas sebagai ruangan mati tetapi kelas sebagai sebuah proses pembelajaran di mana para pembelajar berinteraksi dan saling memberikan pencerahan. Kelas-kelas yang memberi inspirasi.

Tulisan ini saya hadirkan karena saya mendengar dari mahasiswa sendiri bagaimana mereka menghindari kelas tertentu. Penghindaran itu dikarenakan dosen yang mengajar dianggap terlalu "berat". Dianggap terlalu pintar bagi mahasiswa sehingga daripada para pembelajar berusaha keras memahami, lebih baik mereka bertukar dengan kelas lain.

Menurut saya, ini adalah alasan yang aneh karena proses pembelajaran di kelas pendidikan tinggi bukanlah kelas yang mudah "ditaklukkan" seperti pada level pendidikan sebelumnya. Memasuki kelas pendidikan tinggi apalagi dengan dosen yang sangat pintar tentunya memerlukan usaha yang keras. Ibaratnya kita berusaha mengenali pemikiran Foucault, atau para pemikir hebat yang lain. Foucault saya gunakan sebagai ilustrasi bukan hanya karena pemikirannya memang berat walau bagus. Tetapi juga karena alasan personal bagi saya. Dulu waktu saya kuliah, saya pernah "mogok" nulis skrepsi gara-gara eyang Foucault ini. Saya jatuh cinta dengan pemikirannya, dan juga filsafat secara umum.

Tentu saja, bagi orang yang baru belajar, membaca buku-buku atau pemikiran Foucault adalah sesuatu yang sangat berat. Nah, bila belum apa-apa, kita sudah menyerah untuk tidak berusaha "mengenali" Foucault, kita tidak akan mendapat apa-apa. Kita harus tetap bertahan, sampai kita betul-betul memahaminya. Atau bila tidak paham juga mungkin memang kita yang kurang cerdas atau kita cerdas untuk bidang yang lain. Jadi, sebuah kelas janganlah dihindari. Seharusnya kita juga bersyukur bila dosennya "sulit dimngerti". Kemungkinan besar kita malah mendapat sesuatu dari kelas tersebut.

Begini-begini, saya pernah menjadi mahasiswa. Jadi, saya mengetahui kelas seperti apa yang benar-benar memberikan inspirasi. Walau kondisi sewaktu saya kuliah dengan kondisi saat ini berbeda,dDengan niat untuk berbagi cerita, berikut ini kelas-kelas inspiratif yang saya ikuti selama berkuliah:

Kelas keren yang saya ikuti pada semester pertama adalah kelas mas Cornelis Lay, mata kuliah Sejarah Sosial Politik Indonesia. Terus terang, jurusan saya beruntung waktu itu karena mendapatkan kelas mas Coni. Proses diskusi di kelas sungguh mengasyikkan, dengan memberi banyak pengetahuan baru. Bongkaran pemahaman mampu dilakukan kelas ini yang menjadikan transisi anak sekolah menjadi mahasiswa menjadi nyata. Referensinya agar membaca “Catatan Seorang Demonstran” oleh Soe Hok Gie dan “Mahasiswa Indonesia” oleh Philip Raillon (semoga benar menulisnya) benar-benar membongkar pemahaman saya, dan mungkin juga banyak teman lain, yang Orde Baru minded sebagai akibat indoktrinasi selama bertahun-tahun.

Selanjutnya, mas Coni, kali ini bersama mas Ari Dwipayana, keduanya dosen Ilmu Pemerintahan, kembali mencerahkan saya di mata kuliah “Masalah-masalah Kontemporer” yang membahas berbagai kejadian menarik di dunia politik. Caranya pun menarik. Kami, para pembelajar, ditugaskan untuk mereview sebuah peristiwa politik dari media massa, kemudian didiskusikan di kelas. Dari kelas inilah saya belajar bahwa perbedaan pendapat dan persepsi itu rahmat. Kualitas beropini itu bukan hanya kebernasannya tetapi juga kemampuannya untuk menangkap spektrum yang kaya dari sebuah fenomena.

Kelas di luar jurusan saya yang lain, yang juga inspiratif adalah kelas “Teori Pembangunan” oleh pak Moeljarto dari jurusan Administrasi Negara. Pengalaman beliau yang kaya sebagai birokrat dan pejabat salah satu badan PBB, memberikan nuansa yang kaya dari teori yang disampaikan di kelas. Saya jadi ingat bagaimana kami para pembelajar "rela" berkuliah malam karena pak Moel memang sangat sibuk. Kuliah malam itu terbayar karena materi pembelajarannya memang oke.

Begitu juga, pak Mohtar Mas’oed dari jurusan Hubungan Internasional. Mata kuliahnya "Ekonomi Politik Internasional". Beliau memberikan hal yang sama. Ketelatenan beliau untuk mendalami konsep dan mendiskusikannya memberikan inspirasi pada saya sampai sekarang. Bagaimana cara beliau mengaitkan sebuah kasus atau fenomena dengan konsep ekonomi politik masih menjadi inspirasi bagi saya sampai sekarang, yang semoga benar-benar bisa saya aplikasikan.

Kelas “Sistem Sosial Indonesia” oleh pak Nasikun dari jurusan Sosiologi, juga memberikan hal yang sama. Kecerdasan beliau dan konsep yang “berat” awalnya membuat saya kesulitan sebagai mahasiswa baru. Tetapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa, tentunya dengan membaca berbagai bahan kuliah, dan menyadari bahwa kelas ini benar-benar oke. Karena itulah, seperti di awal tulisan, saya sedih ketika mendengar banyak mahasiswa yang pindah kelas “hanya” gara-gara dosennya terlalu “berat”. Dengan sedikit bersabar dan terus belajar, dosen yang “kelewat pintar” itu pasti memberikan banyak hal: pengetahuan dan inspirasi.

Proses pembelajaran di kelas juga hanya satu dari tiga sumber belajar kita. Untuk mendapatkan inspirasi dan pengetahuan yang benar-benar mendalam kita juga perlu menggali dari sumber-sumber yang lain. Dua sumber yang lain itu adalah referensi yang dipakai dan forum diskusi. Kelas menjadi inspirasi, selanjutnya kita juga perlu "berkenalan" dengan bahan-bahan pendukung dan aktif berdiskusi dengan sesama pembelajar. Seringkali pembelajar tidak berburu bahan bacaan dan mengharapkan hanya "diberi" oleh dosen di kelas. Sementara, proses diskusi seringkali hanya dilihat sebagai kontes 'adu pintar' tanpa melihatnya sebagai cara untuk memahami secara kolektif dan konstruktif.

Bagaimana dengan kelas-kelas inspiratif dari jurusan saya sendiri? hmmm, tulisannya sih sudah ada, tetapi untuk alasan etis, melankolis, romantis, klimis (dua kata terakhir seharusnya tidak ada...saya hanya senang dengan rimanya...hehe...), saya tidak akan menuliskannya. Biarlah itu jadi konsumsi bagi pembicaraan-pembicaraan interpersonal saya.

Intinya, secara umum kuliah S1 saya di jurusan Ilmu Komunikasi berjalan sangat menyenangkan walau pada tahun pertama saya sempat berpikir untuk pindah ke jurusan atau program studi lain yang ada dalam rumpun ilmu non-sosial. Banyak juga kelas-kelas inspiratif di jurusan tercinta ini bahkan kelas-kelas itu masih berlangsung sampai sekarang dengan dosen yang sama.

Saya pun masih berusaha mencari kelas inspiratif baru, dan mewujudkan kelas-kelas inspiratif itu...saya akan berusaha sebisa mungkin...

Apa kelas inspiratif teman-teman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...