Kamis, 31 Desember 2009

Dicari: Media (Penyiaran) Publik yang Benar-benar untuk Publik


Peristiwa tentang media yang layak dicatat pada bulan ini adalah pernyataan wakil presiden Boediono sewaktu memberikan sambutan dalam ulang tahun kantor berita Antara ke-72 (Koran Tempo, 15 Desember 2009). Beliau memberikan komentar yang cukup aneh bagi pembelajar media dan komunikasi politik, yaitu mengusulkan agar tiga lembaga penyiaran pemerintah, yaitu RRI, TVRI, dan Antara, saling bersinergi. Menurutnya lagi, sinergi tersebut perlu dilakukan untuk mengimbangi pemberitaan berbagai media yang tidak berimbang.

Melalui pernyataan bapak wakil presiden itu kita jadi memahami bahwa masih banyak yang tidak memahami media, media publik, dan tentunya peran media dalam demokrasi. Bila pejabat pemerintah selevel wakil presiden saja tidak paham, apalagi pejabat pemerintah di bawahnya. Apalagi, dari informasi yang saya dapatkan, penasihat komunikasi beliau adalah pakar-pakar komunikasi dan media, paling tidak ketika pemilihan umum kemarin.

Pernyaatan itu menunjukkan hal-hal yang tidak dipahami oleh bapak wakil presiden berkaitan dengan media. Pertama, pendapatnya bahwa media tidak berimbang. Berimbang dalam hal apa? Bila rujukannya adalah media berpihak kontra pada kita, hal itu belum tentu tidak berimbang. Keberimbangan (juga disebut keseimbangan) dan netralitas, adalah bagian dari ketidakberpihakan (impartiality). Bila keberimbangan adalah ketidakberpihakan pada pihak-pihak yang menjadi sumber berita, terutama berita tentang konflik, netralitas adalah ketidakberpihakan terhadap semua elemen di luar fakta.

Jadi, permasalahan keseimbangan mesti dicek dengan rada mendalam. Kemungkinan besar permasalahannya adalah media tidak mendapatkan informasi dari pihak bapak Boediono sehingga bila tidak ada informasi yang diberikan maka tidak ada yang diberitakan. Media tidak berposisi hanya untuk menyenang-nyenangkan dengan selalu berpihak pada kita, bisa jadi ia tidak berpihak pada suatu isu. Karena itulah, pro atau kontra terhadap aparat pemerintah, pemerintah seharusnya memberikan informasi pada media. Sesederhana itu sebenarnya...

Hal yang kedua yang tida dipahami adalah mengenai media publik. Sejak UU no 32 tentang penyiaran diundangkan pada tahun 2002, kita tidak lagi mengenal media (corong) pemerintah, melainkan media publik, dalam hal ini media penyiaran publik, yaitu RRI dan TVRI. Walau media publik ini "dirawat" oleh negara, bukan berarti ia menjadi pendukung pemerintah. Media publik berperan memberikan informasi dan berposisi pada kepentingan masyarakat sipil. Di daerah saja pemerintah sudah tidak diperbolehkan mendirikan stasiun radio dan televisi apalagi, seharusnya, di tingkat pusat. Maka permintaan agar media publik "bersinergi" membela pemerintah adalah pernyataan yang keliru.

Sejak tahun 2002, atau bahkan sejak Reformasi tahun 1998, TVRI dan RRI tidak pernah "diurusi" dan diperkuat kapasitasnya sebagai media publik, jadi bila sekarang diminta kembali menjadi corong pemerintah, adalah sesuatu yang anomali di era keterbukaan seperti sekarang. Hal yang bisa kita lakukan adalah memperkuat kapasitas kepublikan di TVRI dan RRI. Ini adalah tanggung-jawab kita semua; masyarakat sipil dan negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa TVRI dan RRI belum lepas sepenuhnya tari hegemoni pemerintah, dan juga negara. Media penyiaran publik mungkin merupakan jawaban langsung dari sistem media penyiaran komersial yang sering kita kritik tersebut.

Terakhir, hal yang tidak dipahami oleh pak wapres adalah karakter faktualitas dari pesan yang diproduksi oleh kantor berita. Kantor berita Antara bukan bagian dari aktivitas kehumasan pemerintah. Ia adalah lembaga yang berperan dalam menjumputi fakta dalam berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, fakta tidak boleh "disesuaikan" untuk kepentingan pemerintah, melainkan kebenaran itu sendiri. Bisa dibayangkan bila berita yang bersumber dari Antara tidak memenuhi prinsip faktualitas, pasti secara perlahan maupun cepat, Antara akan mati karena esensi dari berita adalah fakta.

Demikianlah sedikit telaah atas salah satu peristiwa media penting bulan ini. Walau demikian, saya tetap kaget dengan pernyataan tersebut. Kaget karena ini adalah tahun kesebelas dari Reformasi di mana seharusnya aparat pemerintah semakin paham dengan media. Mungkin ketidakpahaman itulah yang menyebabkan penganiayaan (bahkan pembunuhan) wartawan kembali marak, pelarangan film dan buku kembali dilakukan, bukan hanya oleh kelompok tertentu, bahkan oleh negara, dan juga keinginan besar untuk kembali mengkooptasi media yang seharusnya mewakili kepentingan masyarakat yang beropini (publik).

Jangan sampai ketidakpahaman itu menjadikan media sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan aparat pemerintah berdebat, apalagi karena ketidakmampuan aparat pemerintah berkomunikasi. Daripada meminta media publik menjadi "corong" pemerintah, sebaiknya kita secara kolaboratif berusaha mewujudkan media publik yang sebenar-benarnya.

(gambar dipinjam dari blog dagingtumbuh, dgtbh.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...