Kamis, 31 Desember 2009

Televisiku Sayang, Televisiku Malang

Sebagai sebuah bangsa, tentunya kita masih ingat, kita berharap sangat besar pada media massa, terutama televisi, ketika Reformasi bergulir pertama-kali. Dalam konteks hubungan dengan negara di masa Reformasi, kita berharap televisi bebas dari kontrol negara yang terlalu ketat. Kita berharap televisi "memajukan" masyarakat. Televisi menjadi sarana kebebasan untuk berdemokrasi bagi kita semua sebagai masyarakat.

Kenyataannya, semakin lama setelah tahun 1998, kita berada dalam situasi yang sama. Bisa dikatakan, televisi ada di mulut harimau pada masa Orde Baru dan ada di dalam mulut buaya pada Era yang katanya Demokratis ini. Dulu, televisi menjadi sarana penguasa Orde Baru dan kroninya. Makanya Orde Baru bisa bertahan begitu lama, antara lain karena acara "Sambung Rasa" yang dikemas dengan baik di TVRI bertahun-tahun. Kini, televisi menjadi alat bagi penguasa ekonomi yang berkelindan dengan profesi sebagai politisi.

Stasiun televisi komersial di Jakarta "dimiliki" oleh para penguasa ekonomi (dan sekaligus politik). Kecuali sedikit stasiun televisi yang muncul setelah 1998, televisi swasta yang lain adalah "perpanjangan" tangan rejim Orde Baru. Dengan terang-benderang kita melihat "keberpihakan" televisi (swasta nasional) dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini menjadi gejala yang lumrah karena pemilik stasiun televisi secara langsung maupun tak langsung terlibat dengan perpolitikan nasional.
Pertanyaannya, kemana kepentingan masyarakat kita secara luas?

Dua hari yang lalu, tanggal 25 September 2009 pukul 21.30, kita melihat bukti yang nyata betapa televisi telah digunakan "hanya" untuk kepentingan politik tertentu. Dua orang politisi yang "memiliki"
stasiun televisi, yaitu Metro TV dan TV One, terlihat sekali berusaha menjatuhkdan pihak lain atau bertahan dari pihak lain.

Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, sementara TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Kedua politisi ini berpeluang menjadi ketua umum Partai Golkar, yang akan bermunas tanggal 3 sampai dengan 8 Oktober 2009. Pada pukul 21.30 itu, Metro TV menyiarkan acara Kick Andy dengan judul "Bernafas dalam Lumpur". Judul program itu menggunakan judul film terkenal di tahun 1980-an. Tetapi tidak sama dengan topik yang ada di film. Dari judulnya saja kita tahu apa yang dibicarakan. Ya benar: Kick Andy kali ini membicarakan lumpur Lapindo. Hei, kemana saja kalian selama ini? kok baru membicarakan lumpur Lapindo sekarang ini?

Sementara itu, TV One pada waktu yang sama, menyiarkan secara live "obrolan" bersama Yorrys Raweyai, salah satu petinggi Partai Golkar, di acara "Apa Kabar Indonesia". Bila acara Kick Andy adalah acara rekaman, acara Apa Kabar Indonesia ini adalah acara langsung. Dengan mudah akan terlihat bahwa acara ini merupakan "jawaban" dari acara Kick Andy di "tetangga sebelah". Bila acara Kick Andy menggunakan korban-korban "lumpur lapindo" yang belum menerima ganti rugi dan hidup menderita, acara Apa Kabar Indonesia menggunakan pihak lapindo untuk mengatakan bahwa permasalahan "lumpur Sidoarjo" telah selesai dan ditangani dengan baik.

Kedua pihak, minimal dari tayangan di kedua stasiun televisi yang bersamaan tersebut, menggunakan data dan argumennya masing-masing. Permasalahannya adalah, kemana "keberpihakan" dan "netralitas" dari fakta yang disampaikan?

Menurut Denis McQuail di dalam bukunya "Media Performance", ketidakberpihakan berbeda dengan netralitas. Ketidakberpihakan selalu merujuk pada fakta dan pada kepentingan publik, sementara netralitas "mewajibkan" media untuk berada di tengah-tengah pihak yang berseberangan. Kasus tersebut menunjukkan bahwa masing-masing stasiun televisi telah menjadi humas bagi "pemiliknya masing-masing" tanpa mengindahkan cara yang memadai untuk menyampaikan fakta.

Metro TV misalnya, di dalam setiap pemberitaannya menjelang Munas Partai Golkar selalu menampilkan Surya Paloh sebagai salah satu calon ketua. Bila ingin netral, sebaiknya calon ketua lain juga diberitakan. Media memang tidak akan pernah netral tetapi sebaiknya mereka sebisa mungkin berusaha netral. TV One misalnya (disertai dengan ANTV), tidak hanya menyampaikan iklan mengenai program bantuan mereka, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat yang masih belum terbantu di Sidoarjo.

Wah, saya jadi melantur terlalu jauh dan belum mampu menyusun argumen yang lebih tertata. Intinya adalah ruang dan waktu di televisi itu merupakan ruang publik, apalagi frekuensi televisi juga menggunakan wilayah publik untuk bersiaran. Dengan demikian, prinsip ketidakberpihakan dan netralitas (juga faktualitas, kelengkapan, dan relevansi), sesuai dengan pemikiran McQuail, semestinya berusaha diterapkan sekuat mungkin oleh televisi.

Walau begitu, sebenarnya permasalahan televisi Indonesia tidak hanya yang tampak di layar televisi (baca: pesan medianya) padahal peran media sangatlah besar dalam proses demokrasi. Justru masalah terbesar adalah sistem penyiaran kita yang gagal menempatkan masyarakat sebagai pelaku dan tujuan utama dari Reformasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...