Kamis, 31 Desember 2009

Peran Media dalam Mitigasi Bencana

Beberapa waktu yang lalu gempa Sumatera sekuat 7,9 SR menerpa kita. Melalui media kita ketahui bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang terkena bencana belum mendapatkan bantuan, terutama di daerah dengan jumlah korban paling banyak, Padang dan Pariaman, Sumatera Barat. Di sisi lain, kita juga mengetahui dari media massa, terutama suratkabar dan televisi, bahwa bencana ini merupakan “cobaan” yang kesekian kali bagi bangsa Indonesia. Tuhan memberi cobaan terus-menerus bagi masyarakat Indonesia.

Secara langsung ataupun tidak langsung, media mengajak kita untuk terus berkubang pada fatalisme. Fatalisme dalam konteks bencana, adalah cara pandang yang melihat bahwa bencana adalah “urusan” otoritas yang lebih besar, dalam hal ini Tuhan, dan tidak boleh kita pertanyakan. Kita harus menerima cobaan tersebut dengan lapang dada dan terus-menerus berintrospeksi atas apa yang telah kita lakukan.

Melakukan introspeksi adalah keharusan bagi kita bila mendapat musibah tetapi hal ini ada porsi tersendiri yang seharusnya tidak melebur di dalam seluruh isi media. Hal tersebut menjadi lebih mengemuka bila kita mengamati bahwa untuk introspeksi atas bencana itu, kita mendengarkan dua lagu dari Ebiet G. Ade, Berita kepada Kawan dan Untuk Kita Renungkan, yang memang mengajak kita lebih menyadari eksistensi kita sebagai makhluk yang lemah.

Selain memberikan bantuan pada audiens untuk berintrospeksi, media juga sebaiknya tetap merujuk pada fungsinya yang utama: mengupayakan kepentingan publik muncul di dalam isi media, terutama berita. Media seharusnya memberikan potret yang relatif jelas mengenai bencana dan terus menjadi “watchdog” dalam penanganan bencana yang dilakukan oleh pejabat publik.

Media harus mengajak masyarakat untuk mengurangi dampak (mitigasi) bencana. Bagaimana media berperan dalam mitigasi bencana? Pertama, media membantu kita mengamati dan memahami bencana dengan lebih komprehensif. Bukankah media, seperti kata Marshall McLuhan, adalah perpanjangan dari indera manusia? Memotret bencana gempa hanya dari satu gedung terus-menerus tentunya tidak memberikan keluasan pandangan atas kejadian.

Media seharusnya memberikan penjelasan komprehensif mengenai bencana yang terjadi. Daerah mana saja yang menjadi wilayah bencana dan bagaimana proses penanganan dampak bencana yang telah dilakukan, adalah dua contoh informasi yang perlu diperdalam. Melalui peran untuk “memperluas” pemahaman ini kita bisa pula menyoal pertanyaan yang esensial dari pemberitaan, untuk apa sebuah fakta disampaikan? Tentu saja untuk tujuan-tujuan yang baik, bukan hanya pada pelaporan fakta semata.

Kedua, berita bencana sebaiknya dilihat dalam konteks kemanusiaan dan ke-Indonesia-an. Hampir semua wilayah Indonesia adalah wilayah yang rentan terhadap bencana, terutama gempa, sehingga kita selalu “bersiap” dengan bencana sewaktu-waktu. Bila pun ada bencana di wilayah mana pun di Indonesia, kita harus mendapatkan penyadaran bahwa bencana di mana pun di dalam wilayah negeri tercinta ini adalah bencana kita semua. Dengan demikian, motif-motif tertentu, semisal “bantuan politis” dalam bencana gempa di Tasikmalaya, tidak lagi muncul di dalam penanganan bencana yang lain nantinya.

Media juga sebaiknya memperingatkan setiap propinsi di Indonesia untuk terus bersiaga atas bencana beserta penanganannya. Pemberitaan mengenai bencana di suatu tempat seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat di wilayah lain di Indonesia. Penanganan bencana gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006 menjadi contoh yang baik bagi penanganan bencana di Indonesia di mana seluruh elemen, terutama masyarakat, terlibat di dalamnya.

Terakhir, media seharusnya juga menjadi pengawas bagi penanganan bencana yang dilakukan oleh para pejabat publik. Beberapa pejabat publik di daerah yang terkena dampak bencana misalnya, beralasan tidak memiliki dana untuk mengambil bantuan di pusat-pusat posko penanganan bencana. Kejadian ini harus dicek oleh media, apakah memang benar distribusi bantuan menjadi terganggu karena ketiadaan dana ataukah pejabat publik yang bersangkutan tidak menjalankan kewajibannya.

Bagimana pun hal terpenting dari sebuah bencana yang telah terjadi adalah penanganannya atau pengurangan dampaknya. Bencana yang sudah terjadi tidaklah perlu disesali terlalu dalam dan menyalahkan diri sendiri. Hal yang terpenting bagi kita adalah bagaimana cara kita mengatasinya dengan mengoptimalkan sumber daya bangsa yang kita miliki. Melalui media seharusnya kita menjadi lebih paham tindakan-tindakan apa yang penting untuk dilakukan untuk mengurangi dampak bencana.

-----

(Tulisan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 24 Oktober 2009. Diniatkan untuk berbagi dan mengundang diskusi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...