Kamis, 31 Desember 2009

Haruki Murakami

sSebagai pembuka sebaiknya saya ingatkan, ini bukan tulisan tentang Murakami, penulis Jepang bagus itu, setidaknya belum. Namanya hanya saya gunakan untuk judul agar saya terus terinspirasi sampai pergantian tahun nanti (juga sampai waktu yang sangat lama). Tulisan ini lebih merupakan pemandu bagi diri saya sendiri untuk menulis lagi setelah cukup lama tidak menulis. Pembaharuan janji atawa komitmen ini secara personal memang harus dilakukan terus-menerus. Bila tidak diperbarui, tahu sendirilah, bisa puluhan hari bahkan puluhan bulan tidak menulis lagi.

Beberapa hari ini saya tidak memiliki topik khusus untuk dituliskan. Saya tidak tahu penyebabnya kenapa kejernihan di kepala tidak muncul untuk menulis sesuatu yang spesifik dan kohesif. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah hadirnya beberapa bacaan yang memang bagus sehingga saya terpengaruh dan tidak bisa memilih topik secara spesifik. Penyebab yang lain adalah cukup banyak album musik yang harus saya takar. Paling tidak ada lima album musik Indonesia yang menunggu untuk direview.

Sudah cukup lama tidak menulis cukup panjang di notes ini, padahal saya harus menulis setiap hari sesuai dengan komitmen saya sendiri. Saya harus menulis paling tidak untuk mengingat apa pun yang saya pikirkan dengan lebih tertib dan terdokumentasi. Menulis tentang sesuatu lebih baik daripada berbicara tentang sesuatu yang ideal tanpa kita lakukan, sekalipun tulisan itu berupa cerita tidak penting. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskannya? memang tidak ada yang mengharuskan kecuali diri saya sendiri.

Dua minggu lebih ini juga sangatlah “sesak” menurut saya. Ada beragam tugas yang harus diselesaikan, terutama berkaitan dengan perkuliahan minggu terakhir yang harus dipenuhi, sekaligus menyiapkan diri untuk ujian akhir nantinya. Juga ada beberapa kesibukan personal yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu, apalagi ditinggalkan. Beragam kejadian, terutama kedukaan di tinggal salah satu anggota keluarga besar, juga membuat saya lebih banyak termenung daripada menulis. Walau begitu, bagaimana pun juga fokus di dalam menulis itu penting, juga tindakan riil merangkai kata untuk menjadikannya sesuatu yang utuh.

Di antara semuanya, saya kira penyebab terkuat yang membuat saya tidak bisa memilih topik untuk dituliskan adalah kuliah-kuliah saya. Kuliah itu mewujud menjadi dua kata kerja, menguliahi dan dikuliahi. Ternyata berada pada sisi “dikuliahi” berbeda jauh dengan “mengualihi. Kala dikuliahi, kita mesti bermimikri menjadi cawan kosong yang menerima pengetahuan tanpa pretensi terlebih dulu. Karena itulah, kini saya menjadi lebih menghargai para pembelajar di kelas saya. Mereka tetap harus membuat diri mereka kosong sekaligus terbuka agar pengetahuan dapat masuk di kepala dengan optimal.

Sebagai pembelajar ilmu komunikasi bagaimana pun juga saya mesti terus “berdekatan” dengan isu-isu komunikasi, terutama media. Hampir sebulan ini beberapa isu media penting berseliweran. Paling tidak ada tiga topik yang menarik untuk didedah. Topik besar pertama beberapa hari ini adalah berkaitan dengan profesi saya. Saya adalah pembelajar ilmu komunikasi yang harus terus-menerus mencoba melihat fenomena komunikasi, terutama media dengan kritis. Dua minggu ini paling tidak ada tiga kejadian penting berkaitan dengan kehidupan bermedia kita. Pertama, pejabat pemerintah yang meminta media (penyiaran) publik menjadi media corong pemerintah. Kedua, seorang anak yang bunuh diri karena program acara sulap. Dan terakhir, selebriti yang menulis komentar lepas kontrol di sebuah situs jejaring sosial.

Masih banyak isu lain sebenarnya. Ada tentang RPP penyadapan, rencana siaran berjaringan yang kemungkinan besar akan ditunda lagi, gerakan sosial “Koin untuk Prita”, juga maraknya kembali “pelarangan” buku. Dengan alasan-alasan tertentu, isu-isu tersebut belumlah saya analisis dengan menuliskannya. Pada catatan-catatan berikutnya barangkali.

Selain itu, saya juga sangat terinspirasi oleh Haruki Murakami. Itulah sebabnya saya menggunakan namanya sebagai judul tulisan ini. Ada empat bukunya yang sedang saya baca-baca. Satu buku, novel, pernah saya baca tetapi saya ingin membacanya lagi, novel itu berjudul Norwegian Wood (1987). Saya tidak terlalu ingat dengan ceritanya. Hal yang saya ingat adalah pengalaman perasaan unik yang saya rasakan ketika membacanya. Perasaan kelam yang mengisap pelan-pelan tetapi indah.

Dua novel Murakami yang lain, Kafka on the Shore (2002) dan After Dark (2004), sudah tersaji di depan saya, tetapi saya belum memulai mencernanya. Dan satu lagi buku Murakami yang sedang saya baca, bukan novel melainkan memoar dirinya. Judul bukunya unik, What I Talk about when I Talk about Running. Buku ini sangat bagus. Saat membaca buku ini, saya sangat ingin menulis seperti Murakami. Menulis itu adalah aktivitas yang spesial sekaligus merupakan panggilan jiwa. Itulah kira-kira inti dari yang ingin dikatakan oleh Murakami.

Buku ini adalah satu dari tiga buku yang benar-benar berguna bagi saya untuk menulis. Ironisnya, ketiga buku ini bukanlah panduan menulis buku “akademis”, melainkan panduan menulis fiksi dan buku opini penulisnya. Buku ini benar-benar memberi inspirasi dan pengetahuan berguna dalam menulis. Tidak hanya dalam dunia tulis menulis fiksi, melainkan menulis secara umum, termasuk menulis akademis yang ada dalam wilayah profesi saya. Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis melainkan juga hal-hal substantif.

Selain itu, ada tugas utama yang minggu ini saya kerjakan. Tugas itu adalah menulis review literatur untuk riset yang akan saya lakukan tidak lama lagi. Saya merasa belum puas dengan bagian review itu. Saya ingin “menghukum” diri saya dengan menelaah konsep komunikasi politik dengan maksimal dan semoga cukup elaboratif. Konsep komunikasi politik akan saya bahas karena konsep inilah yang menjadi esensi dalam riset saya nantinya.

Hal yang inspiratif juga patut dikenang dengan dituliskan. Sabtu malam kemarin ada pertandingan final “Piala Dunia” antar klub antara Barcelona versus Estudientas. Prestasi luar biasa Barcelona yang ternyata tidak hanya terjadi di semesta game Football Manager. Karena itulah saya akan mencoba menulis tentang hal inspiratif ini, sepakbola, FM, dan tafsir atas keduanya.

Peristiwa inspiratif lain adalah pertemuan saya dengan aktivis seni, Eko Nugroho, yang menjadi penggiat sebuah komunitas seni bernama daging tumbuh. Sebuah komunitas seni yang berusaha membebaskan diri dari konvensi-konvensi yang “mengganggu” kreativitas itu sendiri, terutama dari konvensi pasar. Perkembangan media baru ternyata menjadi elemen yang penting bagi gerakan seni dan sosial yang digagasnya.

Hal terakhir yang ingin saya tulis adalah betapa sebuah kejadian akademis formal membuat saya terinspirasi. Event itu adalah pengukuhan dekan di tempat saya bekerja, pak Praktikno, sebagai guru besar. Hal yang membuat saya terinspirasi adalah latar belakang aktivitas beliau yang beragam, mulai dari yang akademis murni sampai dengan aktivitas sosial. Profesi sebagai akademisi dan aktivis yang ternyata tidaklah bertentangan, malah saling melengkapi satu sama lain. Inspirasi lain adalah jaringan pertemanan beliau yang sangat luas, mulai dari sesama akademisi sampai dengan kalangan lain. Luasnya jaringan pertemanan beliau membuat saya semakin sadar bahwa keragaman teman memberikan kontribusi yang besar bagi aktivitas akademis.

Kira-kira begitulah yang akan saya tulis. Entahlah akan jadi berapa tulisan berkaitan dengan ancangan yang saya telah saya susun ini. Sebisa saya sajalah…saya ingin melihat sekuat apa dan seberapa banyak yang saya tulis dari perencanaan ini….

Kehidupan menulis dimulai lagi sekarang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...