Kamis, 31 Desember 2009

Menjadi Jurnalis Musik

Menyambung tulisan sebelumnya agar saya sendiri tidak lupa dan mungkin bisa berbagi dengan rekan-rekan, saya mencoba menuliskan apa yang kami diskusikan sewaktu acara Loc Stock tanggal 15 November 2009 kemarin. Diskusi itu bertopik tentang jurnalisme musik. Ada tiga pembicara yang dihadirkan, termasuk saya. Dua orang praktisi, satu jurnalis musik dari majalah Trax, satunya dari DAB. Nama mereka juga mirip nama belakangnya, Wahyu Nugroho dari Trax, yang dipanggil Acum. Satunya lagi, Arief Ardi Nugroho, dari majalah musik DAB. Majalah musik Yogya dengan idealisme luar biasa. Dan yang terakhir, Wisnu Martha Nugroho...hehe...

Bila kedua pembicara yang lain melihatnya dari sudut pandang "pelaku" secara langsung, saya melihatnya dari sisi pembaca melalui output berita yang dihasilkan oleh para jurnalis musik. Salah satu isi media, dalam hal ini majalah, favorit saya adalah Rolling Stone, baik yang dari Amerika maupun yang dari Indonesia. Dalam waktu satu bulan, salah satu yang membuat saya bersemangat adalah membaca-baca Rolling Stone Indonesia. Jadi saya mengetahui dan memahami berita seperti apa yang menarik dan seperti apa seharusnya orang-orang yang menghasilkannya.

Telaah pertama adalah, mengapa jurnalisme ada? jurnalisme ada untuk merayakan kesadaran. Merayakan kejadian di sekitar kita. Jurnalisme diperlukan oleh manusia karena pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang selalu memerlukan informasi dari dunia di sekitarnya. Salah satu realitas yang selalu menarik untuk diketahui dan dibahas adalah musik. Coba kita tunjukkan di kelompok masyarakat mana yang tidak ada musik. Hampir seluruh masyarakat memiliki musiknya sendiri. Musik juga selalu hadir di dalam keseharian kita semua.

Sebenarnya menjadi wartawan atawa jurnalis itu sama saja, baik itu wartawan musik, wartawan politik, ataupun wartawan olahraga. Semuanya harus berpijak pada kerja wartawan profesional. Wartawan pada bidang apa pun sebaiknya merujuk pada standar kinerja media yang dilansir oleh Denis McQuail pada tahun 1992. Kebetulan pada tahun 2006 dan 2007 saya meneliti dengan menggunakan standar tersebut. "Ukuran" dari jurnalis dengan kinerja bagus adalah berpijak pada enam aspek, yaitu faktualitas, akurasi, kelengkapan, relevansi, netralitas, dan ketidakberpihakan.

Mestilah diingat bahwa wartawan musik itu menghasilkan output pesan media yang bersifat faktual, bukan fiksional, walau seringkali di dalam realitas musik populer, mitos dan imaji penyanyi/band terkadang lebih menonjol, tetap saja fakta-lah yang utama. Sehingga wartawan harus tetap memahami profesi dan posisinya sebagai mata masyarakat.

Lalu, sebagai wartawan musik, apa yang bisa dilaporkan? Paling tidak ada tiga hal yang bisa dilaporkan oleh wartawan musik. Pertama, mengamati musik secara umum, baik industrinya maupun organisasi sosiokulturalnya. Menghubungkan dunia musik dengan bidang lain juga galib dilakukan. Misalnya menghubungkan musik Iwan Fals dan Slank dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

kedua, mengamati dan melaporkan musik melalui organisasi penyampai pesannnya. Mulai dari band/penyanyi, label, dan sebagainya. Terutama aktivitas band/penyanyi. Apa yang mereka hasilkan dan aktivitas terkini yang mereka lakukan. Hal ini menjadi lebih mungkin lagi sekarang ini karena maraknya band di Indonesia, baik arus utama maupun indie.

Aspek ketiga yang bisa dibicarakan adalah pesan medianya. Kita bisa membicarakan output yang dihasilkan oleh band/penyanyi dengan segala aspeknya. Kita bisa melihat musik, lirik, video klip, reportase media lain tentang si penyanyi, dan imaji yang berusaha dimunculkan oleh penyanyi tersebut. Katakanlah imaji yang selalu berubah yang ditampilkan oleh Madonna.

Walau demikian, bila merujuk pada aspek-aspek yang lebih dekat dengan praksis, seorang jurnalis musik sebaiknya memiliki kriteria sebagai berikut: pertama, menyukai musik dengan tulus. Tidak hanya menyukai musik (karena bagi wartawan musik hal ini adalah keharusan). Menyukai musik dengan tulus berarti si jurnalis tidak boleh berpihak pada satu aliran musik tertentu dan menafikkan aliran musik yang lain. Seorang jurnalis musik boleh saja ngefans dengan seorang penyanyi atau band tertentu tetapi bila ia harus menulis tentang aliran musik lain, ia harus mampu melaporkannya tanpa pretensi.

Kedua, karena menjadi jurnalis musik berarti memiliki kemungkinan yang besar bertemu dengan penyanyi dan ada kemungkinan juga penyanyi tersebut adalah idola sang jurnalis, seorang jurnalis tetaplah harus melaporkannya dan tidak berubah peran menjadi fans. Ini yang disebut Acum, entah dia mengutip siapa saya lupa, musik adalah "industry of the cool" sehingga wartawan musik harus menjadi salah satu yang "cool" itu. Tidak lebur pada orang-orang "cool" yang lain.

Terakhir, bagaimana pun juga, wartawan musik sebaiknya memiliki kemampuan jurnalistik yang mumpuni ditambah dengan kemampuan melaporkan a la seorang antropolog dan juga kemampuan menulis seorang sastrawan. Sepintas ini menakutkan tetapi sebenarnya tidak. Asalkan dilatih terus, tentu kedua kecakapan tersebut akan terwujud. Coba kita bayangkan bila wartawan musik "hanya" memiliki kemampuan mewawancarai dengan standar dan menulis hanya "hard news". Laporan jurnalistiknya akan kering. Wartawan musik tidak hanya melakukan wawancara "biasa" dengan narasumber tetapi bila perlu ikut bersama mereka untuk mendapatkan fakta yang penting. Film "Almost Famous" adalah contoh yang baik menggambarkan kemampuan itu. Inilah yang disebut dengan sedikit kemampuan seorang antropolog yang memahami detail fenomena yang ia ikuti.

Pada titik ini, seorang wartawan musik sudah ditakdirkan untuk banyak membaca (ini sih "kewajiban" semua jenis wartawan sepertinya...hehe...). Karena melalui membaca-lah, seorang wartawan memahami hal-hal terkini dan mampu menghubungkan teks musik dengan teks lainnya. Istilah kerennya, interteks. Lebih dari itu, amunisi pengetahuan dari membaca akan membuat seorang wartawan musik memiliki kemampuan yang khas bila dibandingkan dengan wartawan lainnya.

Sekain itu, penulisan yang tidak kering untuk dunia musik dimungkinkan jika wartawannya banyak membaca dan jurnalis musik juga sebaiknya tidak hanya bisa penulisan berita standar. Bila perlu mereka memahami betul teknik jurnalisme sasrawi di mana fakta diolah sedemikian rupa menjadi "bercerita" dan berfokus pada cerita orang pertama. Kemampuan yang lain bila harus ditambahkan adalah pemahaman menelaah data dengan baik.

Di dalam majalah musik yang bagus misalnya, seringkali kita melihat artikel yang ditulis oleh panel, sekelompok oranga yang menyortir dan menilai. Katakanlah, 10 album terbaik dalam setahun. Panel tersebut harus memilih sepuluh dari kemungkinan puluhan album yang ada. Penentuan ini bisa lebih dipahami oleh pembaca bila rujukan dari panel itu jelas dan si jurnalis yang akan menuliskannya paham dengan metode yang diambil.

Hal yang juga penting untuk dipahami adalah jurnalisme musik itu lebih luas daripada musik semata. Melalui jurnalisme musik, kita dapat memahami kehidupan pada umumnya. Banyak laporan jurnalistik yang bercerita tentang peran musik dalam politik misalnya, yang memberikan pemahaman yang lebih baik daripada bila disampaikan oleh media yang memang secara khusus bicara politik. Bahkan, jurnalis musik yang berkelas adalah jurnalis yang bisa menghubungkan musik dengan hal-hal lain yang bermakna bagi kehidupan bersama.

Bagaimana agar kemampuan di atas tumbuh bagi para calon jurnalis musik? tipsnya sederhana; berlatih, berlatih, dan berlatih. Juga mendengarkan album-album musik yang bagus, serta membaca atau mengamati karya-karya jurnalistik musik yang bagus karena cara terbaik untuk membuat output yang bagus adalah dengan melihat karya yang bagus pula. Terakhir, semakin menumbuhkan kecintaan pada musik. Sebab, apa yang lebih mengasyikkan selain mengerjakan hal-hal yang kita cintai dengan sepenuh hati?

(Terima kasih untuk Auf dan Acum yang memberi inspirasi. Juga Gading dan kawan-kawan yang memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi dalam acara tersebut)

2 komentar:

  1. Kang, saya mau menanyakan sesuatu. Boleh minta contactnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. cari di FB aja akun saya, Wisnu Martha Adiputra, nanti sila via inbox messanger ;D

      Hapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...