Kamis, 31 Desember 2009

Sebidji Album dari Nidji yang Kali Ini Tidak Bergidji

Akhirnya, setelah sekitar sebulan tidak mengakses dan menakar album Indonesia, kesempatan untuk menakar album Indonesia datang juga. Bukan karena apa-apa, satu bulan ini saya tidak mendapatkan album musik Indonesia yang menarik minat saya. Ada Netral dan Sherina yang tidak menggerakkan hati untuk mengaksesnya. Ada Elpiji dan Merah Delima, yang dikasih pun saya tidak akan mau. Atau mungkin juga karena saya sedang asyik masyuk dengan koleksi album musik Barat saya. Waktu libur hari Raya kemarin memang saya kembali mendengarkan musik Barat yang masih mendominasi koleksi album saya. Ada Wallflowers, Semisonic, Duncan Sheik, Coldplay, Morrisey...dan lain-lain.
Kali ini saya mencoba mendengarkan album terbaru Nidji, Let’s Play.

Album Nidji tahun 2007, "Top Up", adalah album yang emosional bagi saya. Tahun 2007 itu adalah salah satu tahun terberat dalam hidup saya. Ada tiga penyebabnya kenapa tahun itu suram sekali; berkonflik dengan beberapa pihak, kesalahan yang saya buat sendiri, dan mungkin juga nasib buruk. Kemudian album kedua Nidji itu datang.

Album "Top Up" itu saya gunakan secara bersamaan dengan album Spoon, “Ga Ga Ga Ga Ga” untuk melewati masa suram dua tahun lalu itu. Kedua album itu menunjukkan pada saya bahwa kehidupan boleh menyenangkan ataupun menyebalkan. Hal yang terpenting adalah respons kita atasnya. Sejelek atau sekonyol apa pun respon itu. Nyang penting adalah responsnya, bukan kualitas respons itu.

Nah, album terkini Nidji ini, menurut saja, “kurang bergizi” bagi jiwa kita. Nidji punya kesempatan besar untuk merilis album yang melampaui aksi bermusik, terutama sejak lagu “Laskar Pelangi” pada tahun 2008. Memang sih, kekuatan utama dari teks (novel) "Laskar Pelangi" adalah menularkan kebaikan. "Produk" ikutannya turut mendapatkan kualitas yang baik itu, antara lain film dan OST Laskar Pelangi.

Lagu "Laskar Pelangi" saya pikir akan menjadi tonggak yang kuat bagi Nidji untuk proses kreatif berikutnya. Bisa jadi pondasi untuk album yang bagus. Sayangnya, Nidji justru kembali pada "bermain" musik pada album ini. Statemen yang juga mereka utarakan lewat majalah HAI, bukan hanya tersurat pada judul albumnya.

Kebanyakan lagu di album ini kembali pada masalah cinta biasa, nyang kurang problematik dan mendalam, yang sebenarnya sejak album pertama cenderung dihindari oleh mereka. Bukankah Nidji mengeluarkan album untuk menjadi alternatif dari lagu menye-menye yang banyak bertebaran ? Di lagu "Sang Mantan" misalnya, walau iramanya tidak menye-menye, tetap saja spirit yang dibawanya sama. Sendu sendu mendayu....dan membuat kita malas untuk hidup.

Kebanyakan lagu memang berbicara masalah cinta-cintaan semacam itu. Lagu yang sedikit berbeda adalah lagu "Let's Play" yang menjadi judul album ini. Secara personal lagu ini adalah lagu yang paling saya suka. Tapi kok lagunya seperti terdengar mirip lagu-lagu Michael Jackson di album "Bad" ya?

Lagu-lagu yang lain mungkin "bagus" dan kira-kira bakal diserap oleh pasar. Saya jadi lebih paham formula-nya: berilah masyarakat pendengar musik yang mendayu-dayu dan membuat hidup jadi sendu. Dengan demikian mereka akan mau mendengarkan musik kita. Padahal sesungguhnya, musik itu sama dengan pengetahuan, seharusnya bisa mencerahkan hati, dan juga pikiran.

Potensi Nidji sebenarnya cukup besar. Potensi bisa menjadi kompetensi melalui kompetisi yang sehat (maaf saya memasukkan kalimat gak nyambung ini. Habisnya bagus sih...hehe...kalimat ini saya dapat dari Parni Hadi, direktur utama RRI). Sayang, hal itu tidak dimanfaatkan. Mereka justru kembali pada "bermain" musik. Menurut saya, sebenarnya Nidji harus mencari sesuatu yang "tinggi" dulu, mumpung masih di album ketiga. Nanti bila sudah lima album, barulah bisa "bermain-main" (apa pun definisinya), seperti yang dilakukan oleh U2 dan Smashing Pumpkins di nagri (negeri manca sana...ikutan istilah majalah HAI).

U2 baru "kembali bermusik" pada album "All That You Can't Leave Behind" setelah eksplorasi habis-habisan untuk konsep postmodernisme, kekacauan identitas dan hiper realitas, dan juga musik techno, yang akhirnya jadi ciri khas mereka, di album "Achtung Baby", "Zooropa", dan "Pop". Begitu juga Smashing untuk album "Adore", setelah eksplorasi mendalam atas kesedihan dan kematian di album "Mellon Collie and Infinite Sadness".

Atau, apa ekspektasi saya sebagai penakar musik amatir yang terlalu tinggi? hehe....

Daftar lagu:
1. Sang Mantan
2. Ku Takkan Bisa
3. Dosakah Aku
4. Lost in Love
5. Let’s Play
6. Rela Berkata
7. Tak Terjamah
8. Hari yang Terindah
9. Pahlawan Mimpi
10. Saat yang Tepat
11. Today

Label: Musica
Harga: Rp. 30.000,- (pesan: jangan beli kumpulan mp3 illegal untuk musik Indonesia, kasihan penyanyinya)

(Jangan khawatir, seperti biasa di album musik Indonesia, kover album jadi jelek karena iklan aktivasi nada dering yang menyatu dengan konsep kover album)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...