Kamis, 31 Desember 2009

Lebaran...Oh...Lebaran

Semua muslim memiliki pengalaman dan pemaknaan yang berbeda mengenai lebaran. Sebagian besar memiliki pengalaman yang indah, sebagian mungkin tidak. Hal yang sama adalah pengalaman tertentu itu semuanya unik. Begitu juga dengan pengalaman dan pemaknaan lebaran bagi saya. Walau tahun ini adalah lebaran pertama kami tanpa bapak, lebaran kali ini adalah lebaran yang benar-benar berarti bagi saya pribadi. Walau saya juga tidak bisa mudik ke Lampung seperti yang telah direncanakan semula sehingga saya tidak bisa berlebaran dengan ibunda tercinta, tetap saja itu tidak mengurangi "keindahan" lebaran kali ini.

Bila ada sedikit "cacat", itu hanya khutbah shalat Ied yang tidak oke. Saya akan berkisah di bagian akhir tulisan ini tentang khutbah teruk itu. Selebihnya, hari pertama lebaran sampai lebaran "kelima" hari ini, semuanya berjalan bagus sekali. Saya sih pengennya ada lebaran hari ke-365, biar hari-hari menjadi indah, tentu saja minus komersialisasinya.

Lebaran tahun ini indah karena beberapa hal. Pertama, saya dan keluarga bisa bersilaturahmi dengan keluarga besar. Interaksi intens yang kemungkinan besar hanya mungkin dilakukan pada hari Raya Idul Fitri ini. Walau berlebaran tanpa bapak, kasih sayang dan atensi keluarga besar benar-benar membuat saya dan keluarga merasakan kehangatan berinteraksi.

Kedua, keakraban dengan tetangga sekitar rumah juga termanifestasi di sini. Dengan berlebaran, akan tercipta kehangatan yang betul-betul terlihat. Hal ini semakin terasa ketika kami berkumpul di masjid perumahan untuk saling bermaafan. Ini adalah langkah taktis karena bila kami harus saling berkunjung ke rumah masing-masing mungkin diperlukan waktu yang sangat lama.

Hal terakhir yang menjadikan lebaran adalah harinya interaksi kita dengan manusia lain adalah semakin intensnya kita dengan teman-teman, baik fisikal maupun virtual. Banyak sekali sms yang masuk, begitu juga ucapan via facebook. Semuanya menunjukkan hal itu. Selain melalui media baru, interaksi yang intens juga terwujud melalui pertemuan-pertemuan langsung dengan label reuni. Saya bereuni dengan teman-teman tempat kuliah dari beragam angkatan. Saya juga ikut bereuni dengan teman-teman kuliah istri yang juga telah menjadi teman-teman saya. Reuni yang belum dilakukan adalah reuni dengan rekan-rekan "sepermainan" saya sendiri. Dalam beberapa hari ke depan tentu saja kami akan bertemu.

Makna lebaran dengan membuka hati lebar-lebar sangat terasa dalam semua interaksi tersebut.

Walau demikian, lebaran juga berpotensi menghadirkan menghadirkan makna yang tidak relevan dengan Idul Fitri itu sendiri. Komersialisasi lebaran dan selebrasi berlebihan adalah dua di antaranya. Permasalahan utamanya adalah cara kita menghindarinya secara personal. Syukur-syukur kita bisa saling mengingatkan bahwa komersialisasi dan selebrasi berlebihan bukanlah esensi dari berlebaran.

Selain potensi mis-pemaknaan seperti di atas, ada juga hal "negatif" lain yang bisa muncul, yaitu pendeskreditan kelompok manusia tertentu. Hal inilah yang kebetulan saya dapatkan ketika mendengarkan khutbah shalat Ied yang seharusnya mencerahkan itu.

Mengapa khutbah tersebut buruk dan dapat menimbulkan pemaknaan berbeda dari lebaran yang sebenarnya? Seperti biasanya, bila pengkhotbah tidak memahami masyarakatnya, yang muncul adalah kalimat-kalimat “keras” tanpa intonasi yang enak didengar. Sepanjang khotbah ia berteriak melulu. Seperti perang saja gayanya. Isi khutbah pun membuat hidup tidak lebih indah dan cerdas. Khutbah mengaitkan ibadah dan pahala dengan keuntungan-keuntungan ekonomi. Sesuatu yang tidak pantas sebenarnya, karena ibadah adalah ibadah. Kita hanya melakukannya dengan ikhlas pada Sang Pemberi Hidup.

Isi khutbah yang lebih menyedihkan dan pasti menimbulkan “kehancuran” hati kaum perempuan, adalah komentar sang pengkhotbah yang menyatakan bahwa 80% isi neraka adalah kaum perempuan. Ampun…saya kaget ucapan seperti itu bisa muncul di khutbah Sholat Ied yang katanya suci. Hari yang seharusnya bebas dari pendeskreditan pada kelompok manusia lain, apalagi bila itu kaum perempuan. Kaum yang melahirkan anak-anak manusia.

Apa pasal kaum perempuan menjadi penghuni neraka mayoritas? Alasannya juga sepele (sayangnya saya lupa hadits apa yang dikutip oleh pengkhotbah itu). Alasannya adalah karena kaum wanita senang mengeluh…Ampun, ya sekali lagi ampun Sang Khalik…Alangkah sepelenya penyebab kaum perempuan “dihukum” di neraka. Saya yakin-seyakinnya bahwa Tuhan tidak akan sekejam itu. Masak gara-gara mengeluh saja bisa masuk neraka…

Pendeskreditan lain adalah bagi kelompok masyarakat kita yang mudik. Paling tidak melalui layar kaca kita melihat bahwa orang-orang yang mudik, apalagi yang termasuk kelas menengah ke bawah: mudik dengan motor dan kendaraan umum kelas ekonomi, digambarkan dengan kurang tepat.

Memang sih, ada sedikit kesalahan dari mereka, yaitu tidak memperhatikan keselamatan, terutama bagi pemudik dengan motor. Tetapi kesalahan terbesar, menurut saya, ada di pihak pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban menyediakan fasilitas mudik, mulai dari kendaraan umum sampai dengan jalan yang memadai, mulai dari peraturan yang benar-benar "mengatur" bukan mengekang, sampai dengan tempat-tempat istirahat yang representatif bagi para pemudik tiap waktu tempuh sekitar dua jam. Dan masih banyak hal lain di mana seharusnya pemerintah (dan juga negara) sebagai pelaksana kepentingan publik memenuhinya. "Kewajiban" itu bisa sangat panjang bila disebutkan...lho, susah dong jadi pemerintah...ya memang susah, selain itu juga diperlukan keluasan visi dan hati untuk menjadi pemerintah atau aparat negara, atau yang lebih kecil, menjadi pemimpin di wilayah masing-masing.

Ya, begitulah... lebaran kita yang memang berkembang menjadi fenomena sosial yang lebih luas, bukan lagi sekadar fenomena keagamaan. Walau demikian, ada satu hal yang jarang disentuh dalam konteks bermaaf-maafan. Kita selalu diminta untuk memaafkan orang lain, juga orang lain diharapkan memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Kita diminta memaafkan para pemimpin walau terkadang mereka lalai menjalankan tugasnya. Kita diminta memaklumi kesalahan orang lain, toh...seperti halnya diri kita, mereka juga manusia biasa.

Permaafan yang seringkali terlupakan adalah apakah kita telah memaafkan diri kita sendiri? seringkali kita terlalu kejam dengan diri kita sendiri dengan terus menerus menyimpan rasa sesal mendalam, dengan tidak berani melakukan sesuatu karena kegagalan sebelumnya, dan dengan ketiadaan tekad untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Manusia yang lebih baik dalam kehidupan bersama, sebab kita tidak akan menggapai kehidupan yang lebih baik setelah kematian jika di dalam kehidupan sendiri kita berusaha "mematikan" orang lain.

Singkatnya, bagi saya, lebaran dan hari-hari sekitar satu minggu setelahnya ini terisi dengan berbagai hal yang membuat hidup ini layak dihidupi dengan rasa syukur. Rasa syukur sebesar dunia ini. Rasa syukur kepada Sang Pemberi Hidup bahwa kita berlebaran satu kali lagi.

Rasa syukur yang membuat kita mampu terlebih dulu memaafkan diri sendiri baru kemudian orang lain.

Rasa syukur yang menjadikan kita terus bertanya, apa makna diri kita sendiri bagi kehidupan fana ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...