Kamis, 31 Desember 2009

Tentang-tentang

Judul ini saya ambil dari salah satu serial cerita kesukaan saya pada masa remaja, “Anak-anak Mama Alin”. Walau struktur utama ceritanya saya sudah lupa, judul tersebut selalu terpatri di benak saya. Bersama dengan “Balada si Roy”, serial “Anak-anak Mama Alin” adalah yang saya tunggu ketika membaca majalah HAI pada awal tahun 1990-an itu.

Tentang-tentang, begitulah yang ada di benak saya selama sekitar sepuluh hari tidak menulis ini. “Tentang” yang utama adalah tentang India. Saya ingat dengan salah satu negara berperadaban tertua itu karena dua hal. Ingatan akan India itu mengarah pada, pertama, cuaca panas yang melanda Yogya belakangan ini bahkan pada saat malam hari. Menurut suratkabar yang saya baca beberapa waktu yang lalu, panas kota Yogya yang mencapai 38,5 derajat Celcius adalah panas tertinggi yang pernah tercatat di kota ini.

Kemudian saya berpikir, apa sebenarnya penyebab cuaca yang demikian panas ini? Secara umum mungkin karena pemanasan global. Tetapi apa eksplanasinya yang saintifik? Apa penyebab sebenarnya panas ini? Mengapa media tidak menjelaskannya pada masyarakat dengan mendalam?
Saya jadi ingat dengan cuaca panas di India sewaktu saya ke Chennai tahun lalu. Panas di sana sekitar 40 derajat Celcius. Saya merasakan benar terik matahari yang seketika membuat pusing ketika wajah terpapar panasnya. Walau sangat panas, perjalanan ke India tersebut adalah salah satu perjalanan terbaik saya. Selain ke Chennai saya juga berkunjung ke beberapa kota di sekitarnya: Pondincherry, Khrisnagri, dan satu kota lagi yang saya lupa karena namanya begitu panjang.

Kedua, India juga saya ingat karena beberapa hari yang lalu saya menonton film “Slumdog Millionaire” . Film yang bagus, sangat bagus malah, walaupun belum termasuk dalam lima “top list” film yang paling saya sukai: “Magnolia”, “Adaptation”, “No Country for Old Men”, “Kill Bill”, dan “Broken Flowers”.
Film memang bukan media yang menjadi hasrat terbesar saya. Media yang membuat saya “tergerak” adalah musik populer. Saya cenderung menonton film karena OST-nya. Jarang sekali karena sebaliknya.

Lagipula saya kurang betah berlama-lama mengakses pesan media. Bila saya menonton film, saya lebih suka menontonnya dari komputer, karena saya bisa memutar dan menghentikannya sesuka hati sambil mengerjakan hal lain.

Tidak salah memang film ini memenangkan Oscar, karena bangunan ceritanya solid dan “pas”. Hal yang paling saya sukai adalah struktur berceritanya yang “berlapis”. Sepanjang setengah waktu film, kita harus menonton tiga cerita yang berlapis. Cerita tentang tokoh utama, Jamal Malik, yang ditahan polisi karena diduga berbuat curang dalam menjawab pertanyaan di acara terkenal “Who Wants to be A Millionaire?”, sebagai lapis pertama. Cerita lapis kedua adalah ketika Jamal Malik menjawab setiap pertanyaan di dalam kuis tersebut. Terakhir, cerita lapis ketiga, yang paling keren menurut saya, adalah bagaimana melalui setiap pertanyaan, kita dibawa pada masa lalu Jamal Malik sebagai bagian dari warga miskin di kota Mumbai.

Melalui flashback inilah makna tentang-tentang itu sangat kuat terlihat. Kita dapat melihat kehidupan antar agama di India yang problematik, kehidupan masyarakat miskin yang sangat keras, semisal anak miskin yang diambil kornea matanya dengan kejam untuk dijual. Juga permasalahan komunikasi lintas budaya, bagaimana “produk” budaya lain, katakanlah Barat, dimaknai secara berbeda di India, misalnya acara ““Who Wants to be A Millionaire?” sendiri, dan makna dari cerita “Three Musketeer”, yang secara cerdas menjadi inti dari cerita yang muncul di bagian awal dan menjadi “solusi” akhir cerita.

Begitulah kecerdasan dan keindahan film “Slumdog Millionaire”. Kekurangannya mungkin hanya ada di akhir film, kedua pemeran utama berjoget seperti halnya film India. Sepertinya adegan joget itu untuk menandai bahwa bagaimana pun juga “cara bertutur India” tidak hilang.

Walau demikian, ini memang film yang sangat bagus dan menjadi inspirasi saya untuk menulis dan berkarya, terutama bila menulis fiksi (prosa) yang belum juga terwujud. Juga menjadi sarana pengingat yang bagus bagi kenangan saya ke India tahun 2008 lalu. Terus terang saya merasa bersyukur tinggal di Indonesia ketika melihat sendiri suasana salah satu kota di India, Chennai. Suasana kota yang sangat ramai, penduduk miskin yang luar biasa banyak, lalu-lintas yang lebih tidak teratur. Bahkan ketika ke Singapura pun saya merasa bersyukur tinggal di negeri seribu pulau ini, bagi saya Singapura terlalu “teratur” dan dikontrol.

Mengutip adegan pembuka dan penutup pada film ini, apa yang harus kita percaya dalam menjalani hidup ini ? pilihan jawabannya: a. uang, b. kecerdasan, c. takdir, dan d. keberuntungan. Mana yang harus kita pilih? Kalau saya, saya akan berusaha mendalami tentang-tentang (kehidupan yang detail).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...