Kamis, 31 Desember 2009

Tentang "Nyala Api"

Sekitar semingguan tidak menulis di sini, kangen juga rasanya. Bukan hanya rindu tetapi juga ada banyak hal yang "menyiksa" dan membuat "gatal" untuk dituliskan. Ada tentang jurnalisme musik, literasi media, gerakan sosial, dan juga dua review album, Melancholic Bitch dan Club Eighties, dan beberapa tafsir dan kenangan atas lagu.

Selain itu, menulis adalah cara terbaik mengingat dan berkontemplasi agar apa-apa yang kita lewati, pikirkan, dan rasakan, tidak hilang begitu saja. Karena banyak hal yang ingin ditulis itulah, saya sampai bingung tulisan mana dulu yang mesti diselesaikan. Pilih punya pilih, akhirnya saya malah menulis sesuatu yang personal, tentang "nyala api" dalam hidup saya.

Istilah "nyala api" saya dengar dari Soleh Solihun, rekan wartawan Rolling Stone Indonesia ketika sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi mengenai jurnalisme musik sekian bulan yang lalu. Dia pun mendengar dan mendapatkan istilah itu dari orang lain, kalau tidak salah dari mas Andreas Harsono, wartawan dan fasilitator dalam jurnalisme investigatif. Sejak saat itulah saya terinspirasi dengan istilah "nyala api".

Istilah “nyala api” juga menunjukkan pada saya bahwa hal-hal inspiratif itu menular dan bisa berasal dari
siapa saja. Saya tidak pernah bertemu dengan mas Andreas dan tidak tahu bagaimana Soleh yang hanya bertemu sekali, dapat memberi inspirasi melalui istilah tersebut. Mungkin di dalam hati setiap orang sudah disadari ada “nyala api” atau hasrat atau “sesuatu yang membuat antuasias” tersebut, tetapi kita memang memerlukan verbalisasi agar maknanya benar-benar terasa. Harus ada yang menyebutkan, menyampaikan, atau bahkan meneriakkannya pada kita.

Dulu ketika berdiskusi dengan Soleh Solihun itu, saya menyadari benar bahwa “nyala api” saya adalah musik populer. Saya menjadi sangat antusias dengan kehidupan jika mendengarkan musik, membicarakannya, dan menuliskannya. Profesi yang tepat bagi saya kemungkinan besar adalah wartawan musik. Tetapi, mimpi menjadi wartawan sudah kandas pada tahun 1998 ketika tahun kelulusan saya bersamaan dengan krisis multi dimensi di Indonesia.

Saya ingat waktu meneliti untuk skripsi dulu, saya berbincang iseng-iseng dengan pengasuh sebuah majalah remaja tempat saya meneliti, menyatakan niat saya untuk menjadi wartawan di sana. Jawaban pemimpin umumnya singkat saja: mempertahankan karyawannya saja sudah sulit, apalagi mengangkat yang baru. Dari situlah “nyala api” saya yang lain mengantarkan saya pada profesi sekarang ini, pendidik, peneliti, dan penulis, atau istilah lainnya disebut sebagai akademisi.

Akhir minggu dua pekan kemarin sampai sekarang ini, saya merasakan “nyala api” saya berkobar-kobar. Saya tidak pernah merasakan kobaran yang sebesar itu. Walau fisik lelah, saya merasakan antusiasme saya untuk hidup sangatlah tinggi. Setelah saya telisik, ternyata nyala api itu tidak tunggal. Ada empat “nyala api” yang ada di dalam dada saya. Keempatnya berkaitan dengan area tertentu dan orang-orang tertentu di mana saya berinteraksi. Keempat "nyala api" tersebut memiliki level yang setara dan tidak ada yang lebih “panas” dari yang lain.

Pertama, ketika kuliah dengan para pembelajar, saya semakin sadar bahwa dunia kerja saya adalah nyala api pertama. Ada perasaan bahagia ketika saya berdiskusi dengan rekan-rekan mahasiswa (pembelajar), menulis akademis, dan juga meneliti topik yang berkaitan dengan ketertarikan saya. Nyala api ini juga lebih terasa ketika saya “dikuliahi”, bukan hanya menguliahi. Ada rasa bahagia ketika saya mesti mendedah konsep, apalagi bersama-sama. Ada perasaan sangat bahagia ketika ada pembelajar yang berhasil di profesinya masing-masing setelah “keluar” dari kampus.

Kedua, nyala api itu muncul ketika berdiskusi dengan rekan-rekan di luar kampus dan memiliki antusiasme yang sama mengenai pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan aktivitas bermedia. Bukannya saya tidak bangga dengan profesi saya sebagai dosen, saya justru berusaha mendekatkan profesi itu pada wilayah masyarakat. Api ini adalah aktivitas lain saya di sebuah lembaga riset, namanya Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP).

Beraktivitas di wilayah ini memberikan saya banyak pengetahuan dan pengalaman baru. Bertemu dengan banyak orang dan konsep inspiratif adalah efek langsung yang saya dapatkan. Output kami yang paling mudah dilihat adalah kami sudah menghasilkan lima buah buku sebagai hasil karya kami selama lima tahun ini. Masih ada dua buku menanti untuk diterbitkan sampai akhir tahun ini.

Ketiga, berdiskusi tentang jurnalisme musik dengan rekan-rekan pencinta musik, adalah nyala api saya yang lain. Diskusi tentang musik itu bisa langsung atau pun online. Saya punya rekan-rekan yang asyik berdiskusi tentang musik sejak jaman kuliah dulu. Mungkin penyebab saya senang membicarakan musik karena saya tidak bisa bermain musik. Terserah saja deh, saya tidak ingin bermain musik. Saya hanya senang mendengarkan dan membicarakannya.

Musik selalu membuat saya antuasias. Saya ingin kajian media lebih memperdalam mengenai musik
populer. Toh, hampir semua buku pengantar komunikasi massa selalu membicarakan musik rekaman sebagai salah satu jenis media. Sesungguhnya masih banyak yang perlu dieksplorasi berkaitan dengan musik populer ini. Semoga nyala api ini membawa saya memahami dengan lebih baik lagi.

Keempat, berbagi pengalaman tentang literasi media, tepatnya cara sehat menonton tv, dengan ibu-ibu PKK di tempat tinggal saya. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa ada api yang lain: merasa berguna bagi warga sekitar. Secara sosial sih saya tetap merasa harus dekat dengan kehidupan masyarakat sekitar, tetapi berguna bagi masyarakat sesuai dengan pengetahuan sendiri, adalah hal yang baru bagi saya. Mungkin saya pernah berdiskusi dengan banyak pihak mengenai literasi media tetapi berdiskusi dengan tetangga adalah hal yang lebih membahagiakan.

Saya hanya bisa berharap, ketika nyala api itu menyatu…maka jadilah sebuah api besar yang unik.

Saya hanya berusaha…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...