Dua hari yang lalu, tanggal 21 Oktober 2009, saya diundang untuk menjadi narasumber dalam sebuah diskusi publik di Radio Republik Indonesia. Saya menggantikan seorang rekan dalam diskusi itu, yang berhalangan karena kesibukannya. Topik diskusinya adalah “Penguatan RRI sebagai LPP (Lembaga Penyiaran Publik).
Diskusi dilaksanakan di studio 1 RRI Yogyakarta. Terakhir, saya berkunjung ke RRI Kotabaru ini sekitar dua puluh tahun yang lalu sewaktu musik slow rock masih merajai selera anak SMA. Saya bahkan ikut bersiaran bersama seorang rekan yang menjadi penyiar di sana.
Kembali ke substansi pembicaraan…Topik diskusi publik ini adalah topik “klasik” yang sudah diusung dan dibicarakan sejak Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran berlaku di negeri ini. Sampai sekarang kita pun masih mempertanyakan mengapa penyiaran publik kurang berdaya guna dalam kehidupan demokrasi.
Selain saya, di dalam diskusi publik ini hadir dua orang Dewan Pengawas RRI, yaitu Heru Martono dan Kaboel Boediono, direktur utama RRI, Parni Hadi, dan Rahmat Arifin, ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Yogyakarta. Tentu saja saya mendapatkan banyak hal dari acara ini. Acara ini pun disiarkan langsung oleh RRI.
Selain mendapatkan banyak informasi mengenai RRI, saya juga memiliki kesempatan untuk setidaknya berkontribusi untuk menggiatkan terus peran masyarakat sipil dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Hal ini saya lakukan, mengingat setelah reformasi, idealnya masyarakat sipil-lah yang bangkit menggantikan “posisi” negara. Kenyataannya, negara bangkit kembali dan pasar menjadi entitas yang begitu dominan tahun-tahun terakhir ini. Saya pribadi merasa senang ada di “sisi” ini karena ini adalah pilihan saya. Pilihan untuk menguatkan terus masyarakat sipil melalui kehidupan bermedia yang lebih baik.
Memang di dalam aktivitas akademis, saya mencoba untuk lebih berada di sisi masyarakat, daripada sisi yang sebenarnya lebih “berkuasa”, pasar untuk kuasa ekonomi, dan negara atau minimal pemerintah, untuk kuasa politik. Kalau pun saya membantu institusi negara ataupun industri, hal tersebut saya usahakan berkontribusi bagi kehidupan masyarakat luas. Walau demikian, ini semata-mata masalah pilihan. Tidak ada intensi lain.
Agak mudah sebenarnya bila kita ingin menguatkan RRI sebagai lembaga penyiaran (berbasis) publik. RRI, dan juga TVRI, telah memiliki panduan yang jelas, yaitu: UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, terutama pasal 14, juga Peraturan Pemerintah nomor 11 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik. RRI juga memiliki rujukan yang lebih spesifik, yaitu Pedoman Penyelenggaraan Siaran yang disusun pada tahun 2007.
Lalu, di mana permasalahannya sehingga RRI belum “kuat” sebagai LPP? Permasalahan utamanya adalah regulasi tersebut hanya menjadi dokumen tanpa napas, dokumen yang tidak implementatif. Strategi merumuskan pelaksanaan dari regulasi yang ada bagi lembaga penyiaran publik adalah isu penting yang harus dipikirkan oleh para “pejabat struktural” dan pelaku media di RRI.
Sebelum lebih jauh, kita mesti merujuk pada karakter dari publik. Banyak definisi mengenai publik tetapi publik paling tidak memiliki empat karakter, yaitu: terbuka, rasional, pelibatan sebanyak mungkin anggota masyarakat, dan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Apakah RRI sudah memikirkan hal tersebut, terutama implementasinya dalam produksi program dan programming? Inilah pertanyaan utamanya.
Makna publik seharusnya merujuk sampai dengan program dan programming RRI. Hal ini belum sepenuhnya terwujud. Saya baru saja menyelesaikan riset mengenai isi program RRI, yaitu program mengenai Pemilu legislatif pada tahun 2009. Riset tersebut menggunakan tiga metode analisis teks. Saya sendiri menggunakan frame analysis untuk mendedah program liputan pemilu 2009 dan dapat disimpulkan program tersebut belum berada pada wilayah “publik”. RRI masih berada di bawah “bayang-banyang” negara atau pemerintah seperti halnya sebelum UU nomor 32 tahun 2002 berlaku.
Dalam program yang saya teliti tersebut dapat dimaknai bahwa pemilu dibingkai sebagai pesta demokrasi tetapi bukan “pesta” masyarakat, melainkan acara yang tetap diawasi oleh negara. Isi program lebih banyak diisi dengan himbauan dan arahan bagaimana pemilu 2009 dapat berjalan dengan baik. Aliih-alih menjadi pesta demokrasi, pemilu 2009 berubah menjadi ketentuan-ketentuan mengikuti “pesta” bukan bagaimana cara merayakan pesta tersebut. Berita tentang pemilu 2009 tidak mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih yang baik dan berperan dalam perwujudan demokrasi yang lebih luas.
Hal ini juga terlihat di dalam Pedoman Penyelenggaraan Siaran yang disusun pada tahun 2007 yang sudah cukup mendetail dalam memandu RRI memproduksi program yang baik tetapi makna publik itu sendiri belum terimplementasi secara mendetail. Misalnya dalam lampiran evaluasi program publik tidak diklasifikasikan sesuai dengan “identitas”-nya. Publik sendiri bisa dibagi ke dalam kepentingan sosial, kultural, ekonomi, dan politik.
Dokumentasi program RRI juga penting. Saya mendengar dari pak Parni Hadi bahwa program-program RRI seringkali menang dalam berbagai kompetisi bergengsi. Sayangnya, berbagai program berkualitas itu tidak bisa diakses oleh publik yang lebih luas. Sebaiknya, selain “memajang” program di situs yang bisa diunduh, RRI juga mesti memikirkan mendistribusikan “audio message” itu ke masyarakat. Semacam audio book di luar negeri. Entah dalam konteks ekonomi (dijual) ataupun sosial (untuk riset misalnya).
Sebagaimana kita ketahui sekarang ini, industri media melalui isi media-nya mulai marak, bahkan untuk recording dan buku, industri itu kini luar biasa. Mungkin ada di luar wilayah kerja RRI, tetapi mesti dipikirkan juga industri “audio-faktual message” sebagai bentuk industri isi media yang baru di Indonesia.
Bila film dokumenter yang dirilis oleh televisi publik dari Inggris bisa laris dan dilirik oleh masyarakat, begitu juga semestinya “produk” dari RRI bila memang bagus.
Begitulah sedikit curahan pikiran dan hati saya. Atau terserah tulisan ini dipersepsikan sebagai apa. Hal yang terpenting bagi saya, tulisan di blog atau di mana pun juga, adalah sarana pengingat personal yang baik dan berguna bagi penataan pikiran. Bila tulisan itu berguna bagi pihak lain, kegunaan itu adalah “bonus”. Kegunaan utamanya adalah bagi diri sendiri dulu, baru berguna bagi pihak lain.
Sebagai penutup saya ingin mengutip semboyan RRI yang masih sering terdengar:
Sekali di udara tetap di udara
Sekali untuk publik, akan terus berguna untuk publik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar