Kamis, 31 Desember 2009

Don't Kill the Messenger

Sekitar dua minggu yang lalu kita dikagetkan dengan pemanggilan dua pimpinan redaksi media cetak, Kompas dan Seputar Indonesia, oleh Kepolisian RI berkaitan pemuatan hasil sadapan KPK di media mereka. Mengapa dipanggil dan untuk urusan apa? Begitulah yang dipikirkan oleh kita. Bila masalahnya adalah masalah pemuatan, berapa banyak surat kabar yang memuatnya, sejumlah situs berita juga memuatnya. Mengapa hanya dua surat kabar itu yang pengasuhnya dipanggil? Urusan itu menjadi lebih besar karena dinilai sebagai bentuk pengekangan kebebasan bermedia yang kita rasakan pada era reformasi ini. Polisi sampai membuat istilah BAI (Berita Acara Investigasi) yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum.

Situasi kebebasan bermedia memang dipersoalkan lagi belakangan ini. Seorang penggiat kebebasan informasi, Agus Sudibyo mengistilahkan kebebasan bermedia yang ada dengan nama “kebebasan semu” karena masih tingginya kemungkinan intervensi dari negara (juga pemerintah), pasar, bahkan sekelompok masyarakat terhadap media. Metafor yang dapat menjadi contoh bagus adalah penggunaan istilah cicak versus buaya. Pers (media dalam fungsi menyampaikan informasi faktual) digambarkan sebagai pihak yang lemah, sementara kepolisian dipandang sebagai pihak yang sangat kuat. Metafor tersebut sempat memunculkan masalah karena kapolri meminta media tidak lagi menggunakan istilah cicak vs buaya, padahal metafora itu muncul dari polisi sendiri. Media masih rentan dikooptasi walau sebenarnya dalam kondisi Indonesia sekarang, media memiliki kemampuan pengaruh terbesar dalam pembentukan opini publik.

Walau begitu, wartawan dipanggil oleh institusi “kuasa” tetaplah hal yang berlebihan. Seharusnya kepolisian berdialog dan mengeluarkan informasi yang benar. Media, dan pekerjanya, terutama wartawan, adalah mata bagi masyarakat sehingga tidak boleh diintervensi dalam menjalankan profesinya. Mereka menjadi penghubung masyarakat dan penguasa, sekaligus menjalankan fungsi sebagai pengawas kekuasaan. Tetapi masalahnya, bagaimana bila media tidak “dipercaya” menyampaikan suara masyarakat? Bagaimana bila media hanya dipandang sebagai corong lawan politik, menyuarakan pihak yang berseberangan dengan penguasa?

Solusinya tetap saja penguasa tidak boleh memanggil wartawan. Bila ada keberatan berdialog-lah dan bersama-sama membenahi kebebasan berdemokrasi yang telah ada. Jangan mengorbankan kebebasan pers yang sudah kita rasakan sebagai amanat pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Kebebasan yang konstruktif dan tak bernilai yang sudah kita rasakan sejak 1998.

Ternyata peristiwa pemanggilan itu belumlah seberapa. Di negara tetangga, Filipina, seminggu lalu terjadi peristiwa yang lebih mengangetkan kita. 30 orang dibunuh dengan keji karena peristiwa politik. Para jurnalis itu dibunuh karena berada bersama-sama tokoh politik yang ingin mencalonkan diri sebagai walikota di sebuah propinsi di Filipina selatan. Kemungkinan para wartawan bukanlah pendukung tokoh politik tersebut. Mereka menjalankan profesi mereka. Kurang lebih 100 orang terbunuh di dalam peristiwa tersebut.

Peristiwa di Filipina itu adalah catatan terkelam dalam pemberangusan kebebasan pers dan kerja jurnalistik para wartawan pada tahun ini. Berdasarkan laporan Asosiasi Surat Kabar Dunia (WAN) dan Forum Editor Dunia (WEF) di dalam pertemuan Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia di Hyderabad, India, yang berlangsung mulai dua hari lalu, wartawan yang terbunuh di seluruh tahun 2009 ini adalah 88 wartawan. Sepanjang dekade ini sudah 750 terbunuh di seluruh dunia (Kompas, 2 Desember 2009).
Saya hanya berpikir, apa yang ada di pikiran para penguasa atau orang-orang yang mencari kuasa sehingga para wartawan dibunuh?

Ini adalah pertanyaan kuncinya. Apakah memang kekuasaan yang sebenarnya merupakan amanat rakyat itu sedemikian ”sakral” sehingga tidak ada keinginan penguasa untuk diawasi oleh media sebagai mata masyarakat? Saya kira permasalahannya adalah bagaimana secara etis maupun hukum, beserta penegakannya. Wartawan dilindungi dalam menjalankan profesinya. Jaman dulu saja, di era kerajaan, kurir pembawa pesan adalah orang yang tidak boleh dibunuh walaupun kedua kerajaan itu berkonflik.

Kalau pun wartawan dinilai keliru, pihak yang merasa dirugikan sebaiknya menggunakan aturan hukum yang ada dan jangan berniat melukai sedikit pun, apalagi membunuh. Membunuh sang pembawa pesan berarti membunuh mata masyarakat. Entahlah, mungkin saya hanya mencoba menggumamkan keresahan saya. Saya mencoba tidak bersedih. Tetapi rasa sedih itu tidak hilang jua karena ada lagu yang terdengar di sekitar saya. Lagu bagus yang dinyanyikan oleh Iwan Fals dan Kantata Samsara, berjudul “Lagu Buat Penyaksi (Udin)”, Matinya seorang penyaksi/bukan matinya kesaksian/tercatat direlung jiwa/menjadi bara membara.....

Jangankan ”merancang” keselamatan profesi wartawan, ”utang” bangsa ini untuk mengungkap pembunuhan Udin saja belum dituntaskan (juga pembunuhan Marsinah dan Munir). Coba teman-teman hitung sudah berapa lama kasus Udin menghilang atau ”dihilangkan”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...