Kamis, 31 Desember 2009

Meningkatkan Koneksitas, Memberdayakan Masyarakat (Seri Belajar)

Mengamati pemberitaan tentang KTT ke-15 ASEAN di Cha-Am Hua Hin, Thailand yang diselenggarakan 23-25 Oktober 2009, di media massa, saya jadi teringat dengan pemberitaan internasional di masa lalu, pada era Orde Baru. Saya masih ingat betapa tahun 1980-an program berita “Dunia dalam Berita” di TVRI menjadi program yang begitu ditunggu oleh audiens. Saya ingat betapa ayah saya menunggu-nunggu acara ini. Sambil menunggu, beliau membaca-baca koran. Beliau juga tidak menonton tv untuk program acara lain.

Program “Dunia dalam Berita” sangat ditunggu pada waktu itu karena menjadi salah satu dari sedikit pintu untuk mendapatkan informasi tentang keadaan dunia, di luar Indonesia. Program berita ini menjadi “antitesa” dari acara berita dalam negeri yang isinya lebih banyak bersifat seremonial dan mengelu-elukan penguasa Orde Baru. Masih terbayang dahulu itu sulit sekali mendapatkan informasi tentang luar negeri. Kini keadaan memang jauh berubah, media untuk mendapatkan informasi tersebut sudah sangat banyak, terutama melalui Internet. Walaupun demikian, informasi mengenai bangsa-bangsa di luar negara kita itu pun sekarang ini masih kurang substantif.

Mengapa tidak substantif? Tentu saja karena kita semakin jauh dari representasi yang sebenarnya. Ketimpangan di dalam sistem media global menyebabkan peristiwa yang diambil oleh media dan perspektifnya cenderung menguntungkan negara-negara pemilik kuasa politik dan ekonomi (baca: negara Barat). Menurut Thomas McPhail di dalam bukunya, “Global Communication” (2002), pemberitaan mengenai dunia memang semakin menurun persentasenya di banyak media. Hal ini terjadi sejak 1990 ketika Perang Dingin berakhir. Penyebabnya antara lain jumlah koresponden yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketika Perang Dingin masih terjadi. Juga fokus banyak media pada peristiwa di dalam negerinya sendiri.

Peledakan World Trade Center pada tahun 2001 justru memperburuk komunikasi internasional melalui media. Media dianggap representasi dari negaranya, tidak lagi menjadi entitas yang dianggap netral. Pada Perang Teluk ke-2 misalnya, CNN tidak lagi bebas meliput seperti pada Perang Teluk ke-1. Bila ada wartawan CNN berani bergerak sendirian untuk meliput, kemungkinan dia akan diculik dan dijadikan alat tukar politis. Hal ini tidak hanya berlaku buat CNN tetapi juga media Barat yang lain. Inilah juga yang memicu munculnya istilah “embedded journalism” di mana jurnalis melakukan tugasnya di belakang tentara yang bertugas.

Kembali pada KTT ASEAN yang beranggotakan sepuluh negara tersebut. Dari acara tersebut kita ketahui tema tahun ini adalah “Meningkatkan Koneksitas, Memberdayakan Rakyat”. Secara lebih detail tema umum tadi menjadi beberapa pokok bahasan.

Pokok pembahasan tersebut antara lain:
• Mewujudkan visi masyarakat ASEAN 2015
• Merangkul para mitra yang terkait
• Meningkatkan koneksitas
• Memperkuat pendidikan
• Memperkuat stabilitas ekonomi dan finansial
• Menanggulangi perubahan iklim
• Jaminan ketersediaan pangan dan energi
• Penanggulangan bencana
• Penanggulangan wabah penyakit global (pandemi)
• Memperkecil kesenjangan pembangunan
• Masalah regional di Myanmar dan Semenanjung Korea

“Meningkatkan koneksitas” adalah istilah yang sangat luas. Pertanyaannya, apa yang dikoneksikan? untuk apa koneksi tersebut ada? Bagaimana caranya? Inilah yang dapat kita elaborasikan sebagai pembelajar komunikasi internasional. Koneksi mesti kita definisikan secara lebih luas, bukan saja permasalahan koneksi fisikal, seperti transportasi antar negara ASEAN, melainkan juga koneksi “virtual” melalui media, konvensional dan “baru”.

Untuk itu, kita perlu merujuk kembali definisi komunikasi internasional. Komunikasi internasional, menurut Everett M. Rogers dan William B. Hart di dalam pengantar buku “Handbook of International and Intercultural Communication”, adalah proses komunikasi pada level makro; tidak hanya antar aparatur negara, melainkan juga antar masyarakat secara luas. Proses komunikasi internasional juga berkaitan erat dengan nilai budaya dan konteks politik negara-bangsa yang bersangkutan.

Pertanyaannya, apakah ada program acara di televisi Indonesia misalnya, yang membicarakan informasi di seputar negara-negara ASEAN? Acara berita pun tidak ada yang segmen yang membicarakan ASEAN secara khusus. Segmen yang ada adalah segmen internasional yang membicarakan seluruh kejadian di dunia, kebanyakan di negara Barat. Jadi sebenarnya thesis awal kajian komunikasi internasional yang membicarakan ketimpangan informasi di dunia, belumlah sepenuhnya hilang.

Hal yang lain lagi adalah permasalahan detail koneksi tersebut. Negara anggota ASEAN terdiri dari sepuluh negara, yaitu : Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Tetapi apakah kita, masyarakat Indonesia, “mengenal” semua negara ASEAN tersebut? Apakah kita mendapatkan informasi yang cukup mengenai bangsa-bangsa tersebut?

Paling-paling kita lebih banyak mengenal negara yang dianggap “serumpun”, Malaysia, itu pun sekarang ini lebih dalam konteks negatif. Walau Indonesia dan Malaysia pada dekade 1980-an dulu memiliki program acara kolaboratif berjudul “Titian Musibah”, acara itu dahulu pun belum mampu menghubungkan kedua negara ini. Apalagi pada masa sekarang di mana problem di dalam hubungan tersebut menjadi lebih kompleks dan sering dipelintir oleh media.
Bagaimana dengan kerjasama media dengan negara ASEAN lain selain Malaysia? Sepertinya tidak ada.

Bila ada pun, kerjasama itu bersifat sporadis dan tidak melibatkan banyak anggota masyarakat. Masyarakat kebanyakan lebih memahami "berita umum", semisal badai di Filipina. Berita dalam konteks memperkuat koneksitas tersebut belum diimplementasikan secara mendalam. Jika kita memandang bahwa proses komunikasi internasional itu bersifat sistematik, semua pihak harus memikirkan bagaimana koneksi tersebut direncanakan dan dilaksanakan serta melalui cara seperti apa.

Mungkin salah satu jawabannya adalah dengan melakukan komunikasi yang lebih intens antara masyarakat sipil kedua negara, yang dipicu dan diperkuat oleh media masing-masing negara. Bukankah definisi komunikasi internasional saat ini sudah diperluas, tidak hanya komunikasi antar negara atau pun komunikasi negara di dalam lembaga-lembaga internasional, melainkan juga proses komunikasi antar masyarakat antara bangsa? di mana proses komunikasi itu pun sudah sangat beragam dan strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...