Kamis, 31 Desember 2009

Industri, Dokumentasi, dan Apresiasi Musik (Populer)

Saya paling tidak akan mengingat dua hal ketika menakar album ini. Pertama, betapa Koes Plus menjadi fenomena yang jauh merambah ke luar teks media itu sendiri. Dan kedua, bagaimana industri musik populer belum menjadi pendukung bagi dirinya sendiri dan belum optimal dalam “mencerahkan” para pelakunya.

Kita berdiskusi tentang hal pertama dulu. Selain Koes Plus, mungkin juga Panbers, tidak ada band Indonesia yang benar-benar merasuki masyarakat pendengarnya. Kita tahu bersama bahwa Koes Plus memiliki banyak fans jauh melampaui jamannya. Setiap band yang memainkan lagu-lagu Koes Plus, bisa juga disebut “peniru”, kemungkinan besar akan memiliki pendengar tetap. Acara yang rutin digelar oleh TVRI Yogya misalnya, yang memainkan lagu-lagu Koes Plus, tetap diminati oleh masyarakat.

Tidak hanya fenomena Koes Plus sebenarnya, hampir semua lagu lama menjadi populer lagi belakangan ini. Program acara di stasiun televisi, Metro TV misalnya, menjaring audiens on air dan off air yang lumayan. Acara yang tadinya bertajuk “Zona 80” itu pun kemudian berubah menjadi “Zona Memori” untuk memperluas cakupan audiensnya walau pada satu sisi akan membuat fans musik 80-an murni akan pergi.

Musik lama, apalagi sekaliber Koes Plus, memang jauh melampaui teks lagunya, baik dalam konteks ruang dan waktu. Setahu saya, lagu-lagu Koes Plus enak untuk didengar dan terutama menjadi sarana yang bagus untuk mengingat masa lampau. Terasa sekali “ruang” dari lagu yang dihadrikan oleh Koes Plus adalah situasi teks lagu itu dibuat. Kita bisa sedikit memotret masa lalu, dekade 1960-an dan 1970-an, antara lain lewat lagu-lagu Koes Plus.

Di sinilah pangkal masalah kedua berawal. Bila kita kaitkan dengan konteks ruang dan waktu masa lalu dan masa sekarang, juga kemungkinan masa depan, industri musik Indonesia belum memberikan “sumbangan” optimal bahkan untuk para pelakunya sendiri, apalagi secara lebih luas.
Bila kita melihat pemberitaan beberapa hari ini, kita dapat melihat rilis box set 13 album the Beatles yang laris luar biasa. Penggemar lama dapat mengakses the beatles dengan kualitas lebih bagus karena rilis yang sekarang ini berformat digital. Bagi penggemar baru, mereka akan lebih mendalam mengetahui the Beatles yang muncul bukan pada jamannya.

Katakanlah, sebuah band muda akan dapat belajar bagaimana duo di the Beatles, Lennon dan McCartney, menciptakan lagu-lagu mereka dari semua lagu yang ada di box set ini. Bagaimana proses kreatif bergulir dan bagaimana kolaborasi dibangun penting untuk diketahui oleh para pelaku musik populer agar bisa menghasilkan musik yang bagus.
Jadi, ada kemungkinan, penyanyi atau band muda di Indonesia memang tidak mendapatkan “asupan” musik berkelas dari para pendahulunya, sehingga…tahu sendirilah, kebanyakan musik menye-menye yang lahir sekarang ini.

Memang sih, sudah cukup banyak rilisan album-album lama beredar belakangan ini. Tetapi itu semua belum cukup, belum ada band atau penyanyi lama yang dapat kita akses keseluruhan diskografinya secara utuh. Katakanlah, Ebiet G, Ade, dan ini belum terlalu lama, dekade 1980-an, kita tidak bisa mendapatkan keseluruhan albumnya, terutama album “Camelia I” sampai “Camelia IV” yang mengandung puisi “maut” dan musik yang enak itu. Album-album Ebiet yang ada “hanya” album-album kompilasi yang seringkali daftar lagunya hanya dibolak-balik.

Jangankan dekade 1980-an, kita pun sulit mencari penyanyi yang relatif baru. Naif misalnya, saya tidak bisa mendapatkan keseluruhan albumnya, terutama ketika Naif berada di bawah label Bulletin dan yang berformat digital. Padahal hal ini juga penting untuk orang-orang seperti saya yang, katakanlah, ingin melihat bagaimana teks lagu Naif berbicara tentang masyarakatnya.

Terus terang, saya jadi iri dengan media perfilman kita, yang memiliki Sinematek, di mana semua film produksi Indonesia kemungkinan besar akan didokumentasikan. Juga media cetak, yang kemungkinan ada di perpustakaan nasional di Salemba, Jakarta. Selain itu, karya sastra (buku fiksi) Indonesia yang ada di lembaga yang dirintis oleh HB Jassin. Kalau musik rekaman, di mana kita dapat mengaksesnya?
Makanya, bila ada yang berniat merintis upaya itu, saya akan dengan senang hati menjadi volunteer untuk menyusun katalog informasinya dan juga sedikit telaah atasnya. Ada yang berminat? Atau bagaimana bila kita bersinergi bersama dengan merintisnya dari awal?

Album “terbaru” Koes Plus yang bertajuk “Andaikan Kau Datang Kembali” ini bisa menjadi langkah awalnya. Pesan media jenis ini juga menjadi sarana yang baik untuk belajar mengenai masyarakat kita dan bagaimana proses kreatif yang mereka hasilkan sehingga lahirlah lagu-lagu yang tak lekang dimakan waktu ini.

Kau memang tidak akan kembali Koes Plus..permasalahannya bukan kembali atau tidak. Permasalahannya adalah, apakah industri sedikit banyak memberikan pencerahan bagi pelaku industrinya sendiri, terutama dalam aspek kreativitas, dan juga untuk masyarakat luas. Bagaimana industri mendokumentasikan kerja para pelakunya demi kepentingan yang lebih luas, kepentingan publik, tidak hanya kepentingan pasar semata.

Penyanyi : Koes Plus
Judul : Andaikan Kau Datang Kembali
Tahun : 2009
Label : Virgo
Daftar lagu:
1. Andaikan Kau Datang
2. Oh Kasihku
3. Kembali
4. Kisah Sedih di Hari Minggu
5. Dara Manisku
6. Why Do You Love Me?
7. Bunga di Tepi Jalan
8. Manis dan Sayang
9. Pelangi
10. Hidup Tanpa Cinta
11. Kolam Susu
12. Kapan-Kapan
13. Buat Apa Susah
14. Bujangan
15. Cintamu T’lah Berlalu
16. Jangan Cemburu
17. Hidup yang Sepi
18. Diana
19. Jangan Terulang Lagi
20. Bis Sekolah
21. Bila Kau Pulang
22. Kembali ke Jakarta
Harga: Rp. 25.000,-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...